Jumat, 22 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (4)

Saya katakan ada persepsi umum di Indonesia bahwa Amerika anti Islam, tetapi Glick menjawab bahwa sulit dibedakan kalau tindakan mereka itu adalah untuk memberantas teroris dan bukan memusuhi muslim. ''Ada ekstremis dan teroris yang kami berantas, bukan memusuhi Islam,'' katanya lagi. Saya menjelaskan, umat muslim di Indonesia juga tidak terlalu sepaham dengan serangan-serangan orang yang kemudian disebut teroris ini. Sebab terlalu banyak yang dirugikan, termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Saya yakinkan Glick bahwa masyarakat muslim Indonesia bukanlah teroris dan tidak suka dengan tindakan teroris. Dia sangat bisa memahami hal ini dan diakuinya Indonesia harus terus membangun imej di dunia internasional. Glick sangat memahami kesulitan pemerintah Indonesia dalam membangun negeri yang besar tersebut. ''Tetapi saya memberikan apresiasi terhadap kemajuan yang telah dicapai Indonesia,'' tambahnya. Pukul 15.00, saya ditunggu Ms Gabrielle Price, Program Officer, East Asian and Pacific di Foreign Press Center. Wanita kulit hitam ini selain memaparkan banyak hal berkaitan dengan tugasnya di tempat itu, juga mengajak saya untuk meninjau press room, tempat yang kadang-kadang menyeiarkan langsung berbagai statemen dan siaran pers dari pemerintah AS, termasuk presiden AS. Pada 2 Agustus 2007, saya bertemu dengan Ms Safiya Ghori, Government Realtions Director, Muslim Public Affairs Council (MPAC). Dia banyak bercerita soal tantangannya memperjuankan hak-hak warga muslim di AS, yang menurut dia masih banyak dijumpai. Bahkan dia mengaku semakin banyak terjadi setelah kasus 11 September. Sebelum berjumpa dengan Redaktur Luar Negeri The Washington Times, Mr David Jones pada pukul 15.15, saya harus mengelilingi gedung Capitol Hill. Gedung tua kebanggaan masyarakat AS itu menjadi gedung senat dan gedung parlemen. Di gedung yang berkubah seperti masjid itu, saya sempat menyaksikan bagaimana para senator bersidang dalam ruangan yang sangat tertutupdan dijag sangat ketat. Tidak orang boleh berbisik, apalagi berbicara ketika para parlemen di negara adikuasa itu menggelar siding. Di kantor redaksi The Washington Times, Koran nomor dua setelah Washington Post di Washington, saya berbincang hangat dengan Jones. Saya banyak menanyakan soal kebijakan redaksional luar negeri korannya, termasuk soal Irak dan muslim dan sikap medianya menghadapi pemilu AS pada 2008 mendatang. Saya juga mengunjungi Voice of America (VOA) selain bertemu dengan bos VOA, juga bertemu dengan unit siaran Indonesia. Saya senang karena sempat berbincang hangat dengan puluhan kru siaran Indonesia baik radio maupun televisi di studionya. Helmy Johannes adalah sosok yang dikenal menjadi penyiar dan reporter RCTI, kini menjadi produser program siaran Indonesia VOA. Ada hal menarik dari pertemuan dengan para petinggi VOA itu. Bima TV dan Bima FM akan menyiarkan acara-acara dari VOA dengan cara memasang perangkat penerima siaran di studio Jl. Gajah Mada 66 Kota Bima. ‘’Kami akan tindak lanjuti setelah seminggu Anda kembali ke Indonesia, saya akan menghubungi perwakilan VOA di Jakarta,’’ kata Norman G. Goodman Ph.D, Chief Indonesian Service. Tanggal 3 Agustus 2007, saya berkesempatan bertemu dengan Excecutive Vice President and Chief Operating Officer, WETA, sebuah stasiun televise publik AS. Bagaimana dia menjalankan bisnis televisi yang tidak boleh menerima iklan itu, juga akan saya kupas kemudian. Saya berharap, Bima TV juga bisa jalan seperti WETA, walau tidak bisa menerima iklan. Bagaimana caranya? Karena saya hanya sendiri, tentu saja semua program yang telah disusun sejak setahun lalu oleh pengelolan International Visitor Leadership dan pemerintah AS, berkaitan langsung dengan minat saya. Saya sangat menghargai hal ini dan saya terus secara sungguh-sungguh dengan minat yang besar mengikuti setiap program yang terjadwal. Warga dan pejabat AS yang berkompeten, sangat antuasias menerima saya dan menyiapkan waktu mereka. Usai ke WETA, saya ditunggu Ms Vjollca Shtylla, Senior Program Director, New Initiatives International Center for Journalists (ICFJ) di kantornya 1616 H Street, NW, Third Floor. Lembaga ini banyak memberikan bantuan pendampingan dan pendidikan jurnalistik, termasuk manajemen media massa di dunia, termasuk Indonesia. Bahkan mereka baru saja melakukan pelatihan jurnalistik lingkungan di Indonesia tahun ini. ‘’Kami juga akan melakukan pelatihan di Timor Leste,’’ kata Patrick Butler, Vice President Program ICJ, yang mendampingi Vjollca. Dia berjanji akan melibatkan wartawan atau tenaga manajemen dari media yang saya pimpin jika ada program di Indonesia, atau negara yang dekat dengan Indonesia atau bahkan jika perlu di AS. Tanggal, 4 Agustus 2007, saya menyelesaikan seluruh program di pusat untuk mendapatkan gambaran tentang AS secara nasional di Washington DC. Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Little Rock, negara bagian Arkansas. Saya terbang dengan American Airlines pada pukul 11.30. Setelah saya pelajari seluruh agenda saya, ternyata ada beberapa hal yang ingin dicapai pemerintah AS yang bisa saya tangkap. Yang pertama, selain saya harus bertemu dengan rekan sesama profesi dan pengelola media cetak, radio, dan televisi, saya juga ingin diberikan gambaran bagaimana kehidiupan masyarakat muslim di AS. Kedua, dengan menunjuk negara-negara bagian yang saya kunjungi secara geografis, diharapkan saya memperoleh gambaran yang bisa mewakili AS secara keseluruhan. Ada Washingtong di ujung timur AS sebagai gambaran kebijakan secara nasional, kemudian Arkansas, berada di bagian tengah, kemudian Michigan di ujung utara. Untuk negara bagian dengan model lain atau karakter berbeda lainnya, yang saya kunjungi adalah New Mexico, negara bagian di selatan yang langsung berbatasan dengan Mexico yang diakhiri di negara industri California. Kalau saya lihat semua negara ini, menjadi wakil dari lima puluh negara bagian lainnya, sehingga pemerintah AS mengharapkan saya bisa memperoleh gambaran utuh mengenai negara ini. Apa targetnya, tentu saya diharapkan akan memperoleh persepsi yang sebenarnya soal AS, mulai dari kebijakan pemerintah, sampai pada kehidupan keseharian warganya, dan juga hubungan antarwarga, termasuk kehidupan umat muslim di negeri ini. Bagaimana perjalanan selanjutnya, ikuti perjalanan ke negara bagian pertama di Little Rock, negara bagian Arkansas. Ketika dalam perjalanan ke Little Rock dari Washington DC pada 4 Agustus 2007, saya harus transit di Kota Dallas negara bagian Texas. Setelah terbang dua setengah jam, pesawat MD seri S80 berpenumpang 170 orang milik American Airlines mendarat mulus di bandara internasional Dallas. Saya harus cepat-cepat menuju pintu 26. Saya naik trem, kereta bandara, agar saya segera sampai di gate keberangkatan menuju Little Rock, negara bagian Arkansas. Negara ini berada di selatan Amerika Serikat. Setelah berpacu dengan waktu, saya tiba di pintu keberangkatan pas saat penumpang boarding. Bersama puluhan penumpang lainnya, saya pun terbang sekitar pukul 13.50 waktu Dallas. Beda waktu satu jam dengan Washington DC. Hanya butuh waktu 40 menit sebelumnya akhirnya kami mendarat mulus di bandara Little Rock. Sebetulnya, dari Washington DC, kami terbang melewati Little Rock. Dan kalau ada terbang langsung, mungkin hanya butuh waktu dua jam. Ibarat ke Mataram, kita harus melalui Denpasar, jadi waktu di perjalanan menjadi lebih panjang. Di bandara ini, saya sudah ditunggu oleh Mr Dr Walter Nunn, petugas lokal dari Arkansas Council for Intenational Visitor, yang menangani perjalanan saya. Saya diantar ke konter Hertz Rental Car untuk megambil mobil yang telah disiapkan untuk perjalanan saya. Mobil inilah yang akan saya pakai selama kunjungan di negara bagian Arkansas ini. Pemandu saya memilih sedan Toyota Camry, seperti mobil dinas Bupati Bima. Dalam hati saya berpikir, kapan lagi saya bisa menikmati mobil yang sering dipakai Bupati Ferry ini kalau tidak sekarang. Dari bandara nasional, saya kemudian ke hotel Doubletree di Littlel Rock, kota kelahiran Bill Clinton. Di hotel dengan tarif 127.11 dolar AS semalam ini, saya menginap di kamar 826. Seperti di hotel sebelumnya, di hotel ini pun sudah tersedia map biru bertuliskan identitas saya dan berisi banyak brosur tentang Little Rock dan Arkansas, termasuk acara saya selama di kota yang dibelah oleh Arkansas river ini. Karena hari pertama tidak ada kegiatan, saya habiskan dengan tiduran di kamar setelah sebelumnya makan di restoran Flying Fish. 

Pada Minggu pagi, masih belum ada kegiatan resmi, saya gunakan untuk berjalan-jalan ke negara bagianTenessee. Saya penasaran dengan legendaris Elvis Presley yang lahir di Kota Memphis, hanya sekitar tiga jam jalan darat arah timur dari Little Rock. Saya beragkat sekitar pukul 10.00 pagi, setelah sarapan di hotel. Ada yang menarik sepanjang perjalanan Little Rock-Memphis. Seperti yang saya sering lihat di film-film Amerika, sepanjang jalan ini hanya dipenuhi truk-truk besar yang mengangkut kontainer, mobil dan barang-barang dengan ukuran besar. Jalur jalan penghubung dua negara bagian ini seperti jalan tol di Indonesia, tetapi tidak memiliki pintu tol. Tiap jalur dibagi tiga alur masing-masing untuk jalur cepat, lambat dan untuk menyalip. Kiri-kanan jalan dikelilingi hamparan pohon dan hamparan lahan pertanian subur yang luas sejauh mata memandang. Hanya beberapa rumah warga di tengah lahan yang luas yang ditanami dengan jagung dan kentang. Kalaupun ada rumah warga, mereka tinggal di tengah lahan mereka yang luas dengan lingkungan yang sangat asri dan hijau. Sebagai tempat istirahat pegendara yang melakukan perjalanan jauh, terutama sopir-sopir truk, ada disediakan restarea (tempat istirahat) di sisi kiri maupun kanan jalan. Hebatnya, jalan yang demikian panjang ini ditata dengan rapi. Rumput sepanjang sisi kiri dan kanan jalan yang hijau seperti taman. Bagi saya, ini merupakan pemandangan yang mengasyikan dalam perjalanan dengan kecepatan minimum 100 km per jam itu. Setelah menempuh perjalanan panjang tapi menyenangkan, apalagi jalanan yang tidak punya tikungan sama sekali itu, sekitar pukul 13.00 saya mulai melihat bangunan tinggi. Saya berpikir pasti ini kota Memphis. Sebelum masuk kota, kami melewati jembatan panjang. Memang di Amerika rata-rata jembatannya panjang antara 200 meter bahkan ada yang sangat panjang seperti Bay Brigde di San Fransisco. Saya agak ngeri juga berjalan bersama dengan puluhan truk besar di atas jembatan ini. Apalagi minggu lalu, sebuah jembatan di Kota Minnesotta, ambruk dan menewaskan banyak orang dan ratusan mobil ambrol ke sungai di kota itu. Saya sempatkan istirahat di taman pinggir sungai sambil menikmati pemandangan yang indah, sebelum mencari makan siang. Seperti kota Washington DC maupun Little Rock, kota ini juga sepi. Tidak ada orang yang berseliweran di jalanan, kecuali sesekali hanya saya lihat turis dari negara bagian lain yang sedang menikmati liburan musim panas. Ada taman yang indah di pinggir bagian timur Missisipi river di Kota Memphis. Saya gunakan untuk melepas lelah setelah menempuh perjalanan dari Little Rock. Selain merekam dengan kamera video dari berbagai sudut, saya juga berfoto di pinggiran sungai Misissipi yang menawan ini. Setelah makan siang, saya kemudian pergi ke Green Palace, tempat kelahiran Elvis Presley. Saya tiba sekitar pukul 15.35 atau lima belas menit sebelum lokasi itu ditutup. Setelah parkir kendaraan, saya kemudian menuju ke sebuah tempat di mana dua pesawat milik Elvis diparkir. Banyak turis dari hampir seluruh negara bagian AS maupun dari luar negeri, berkunjung ke tempat tersebut. Pesawat itu, kondisinya masih terawat dengan baik itu dan disimpan untuk meseum dan menjadi objek wisata. Setelah puas melihat pesawat yang dulu yang sering dipakai Elvis, saya kemudian ke tempat pameran. Di situ terdapat mobil Elvis yang kondisinya juga masih terawat dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar