Jumat, 22 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (3)


Kami sempat ke negara bagian Virginia, Maryland dan sempat keliling Washington DC. Ternyata hotel Jurys tempat saya menginap dekat dengan KBRI, Gedung Putih, Pentagon, dan banyak lagi kantor pemerintahan AS. Karena memang pusat pemerintahan George W Bush ada di Washington DC (District of Columbia). Penduduk Washington, ternyata tidak banyak, tidak lebih dari satu juta orang. Pada hari libur, jalan agak lengang, kecuali diisi wisatawan yang berjalan kaki mengelilingi kota kecil dari segi luas, tetapi besar perannya ini. Kita tentu saja mahfum kalau dari kota ini, dunia bisa diremote untuk bisa damai atau sebaliknya. Tidak ada kesibukan apalagi kemacetan lalulintas seperti di Jakarta misalnya. Kendaraan yang lalulalangpun tidak banyak. Karena sekarang musim panas dan waktu libur bagi sekolah-sekolah di AS, Washington juga banyak dikunjungi wisatawan. Harinya pun panjang. Pukul 20.30 malam, hari masih terang. Bandingkan dengan di Bima yang sudah gelap pukul 19.30. Senin, 30 Juli 2007, seperti jadwal yang terima di Jakarta, program dimulai. Jam 10.00 sampai 11.30, saya bertemu dengan manajer program Ms Jeana Lim dan Mr Charlie Kellet, program officer, East Asia Branch. Kami berbincang akrab, termasuk penjelasan mengapa saya terpilih dalam program ini. Kata Kellet, program ini dimulai sejak 1940 dan sudah ribuan alumni yang tersebar di seluruh dunia. Dari seluruh peserta, 200 menjadi kepala negara dan kepala pemerintahan seperti H Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri dari Indonesia, Tony Blair dari Inggris dan banyak lagi. ''Tapi kami tidak akan menekan Anda untuk menjadi presiden di Indonesia,’’ katanya. ‘’Mengapa Anda yang dipilih? Duta Besar kami yang di Jakarta tentu saja punya pertimbangan yang cermat karena Anda punya potensi dan konsisten dan punya dedikasi dalam menjalankan profesi,’’ tambahnya. Saya berseloroh, mudah-mudahan AS tidak salah memilih saya, dengan cepat dijawabnya. ‘’Tidak, ini bukan serta merta tetapi melalui pertimbangan matang dan butuh waktu yang lama,’’ tambahnya lagi. Dia menjelaskan, dalam program ini banyak sekali orang yang punya minat dan tertarik untuk berbicara dengan saya. Ada banyak alasan, selain karena mereka memang punya ketertarikan dengan Indonesia, juga ingin mengetahui budaya Indonesia dan juga sebaliknya. Ada banyak masyarakat AS yang secara sukarela ingin agar masyarakat negara lain seperti saya mengenal dan memahami AS secara lebih baik. Dalam program saya, menurut Ms Jeana Lim program manager Mississippi Consortium International Development (MCID), selain berada di Washington DC untuk mengetahui kebijakan AS secara nasional dari seluruh aspek, juga akan mengunjungi empat negara bagian lain yaitu Arkansas, Detroit (Michigan), New Meksiko, dan San Fransisco di California. Sejumlah satsiun televisi dan media cetak, termasuk VOA sudah menunggu kedatangan saya. Semua kegiatan sudah terjadwal rapi, termasuk hotel tempat menginap. Usai bertemu dengan Jeana dan Kellet, saya ke Meridian International Center.
Saya sangat beruntung sekali bisa bertemu dan berbincang dengan profesor kebijakan publik George Mason University, Dr Mark Rozell. Saya dipertemukan dengan penulis banyak buku tentang kebijakan publik ini karena saya kebetulan sedang menyelesaikan studi magister kebijakan publik di Universitas Brawijaya Malang. Pada kesempatan overview, Rozell memaparkan sistem politik AS. Kata dia, dengan sistem pemerintah federal seperti sekarang ini, akan terbagi kekuasaan secara merata antara lembaga eksekutif, parlemen dan yudikatif. Namun demikian, menurut pengamatannya, sistem tersebut bukan tanpa kelemahan. ''Masih ada saja celah tumpang tindih dalam praktiknya,'' katanya. Prof Dr Mark Rozell telah menulis sembilan buku dan menjadi editor 16 buku tentang kebijakan publik, sistem pemerintahan, politik dan agama, politik dan media dan ketertarikan kelompok dalam pemilu. Selain guru besar pada George MasonUniversity, juga sering memberikan kuliah dan ceramah umum kebijakan publik di luar negeri. Saya bertemu dengannya, tidak di kampus tetapi di Meridian International Center, sebuah lembaga non pemerintah yang dia pimpin. Pada Selasa, 31Juli 2007, saya diagendakan harus mengikuti tiga kegiatan dan bertemu dengan orang-orang yang berkompeten pada pemberian ijin penyiaran dan pendirian televisi dan radio di AS. Saya telah ditunggu oleh mereka pukul 10.00 di kantor Federal Communication Commission (FCC). Kalau di Indonesia dikenal dengan KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia. Lembaga ini sangat berwenang soal penyelenggaraan penyiaran di AS, termasuk yang memberikan ijin penggunaan frekwensi spektrum radio. Saya bertemu dengan Mr Michael Carowitz, Chiefof Staff/Assosiate Buraeu Chief, Enforcment Bureau FCC, Ms Paulette Laden Attorney Adviso, Video Division, Media Bureau, dan Mania Bagdadi. Bagdadi adalah Deputy Division Chief, Industry Analysis Division, MediaBureau. Anggota FCC sebanyak lima orang, tiga orang terpilih dari partai pemenang Pemilu atau partai presiden. Masa jabatan mereka sama dengan KPI yaitu lima tahun dan dapat dipilih kembali tanpa batas. Ada yang menarik soal penyiaran di AS. Berdasarkan UU Penyiaran mereka tahun 1934, tidak dikenal istilah sensor. Jadi kalau anda punya stasiun televisi atau radio di AS, Anda boleh menyiarkan apa saja, termasuk ---maaf --- film vulgar. Di AS tidak mengenal istilah itu, tetapi jika masyarakat keberatan dengan materi yang anda siarkan, boleh mengajukan keberatan kepada FCC. Kasus Jeanett Jackson yang sempat mempertontonkan aurat saat siaran langsung show-nya tahun 2004 di USA, perkaranya masih belum rampung. Kebetulan pengacara kondang yang mewakili stasiun televisi yang diperkarakan oleh FCC itu, Mr Bob Corn-Revere, juga dipertemukan dengan saya. Kami banyak diskusi soal ini. Di AS, sejak First Memorandum Right dideklarasikan 1934, tidak ada lagi sensor berita dan tayangan media. Cuma memang tidak boleh ada kata-kata makian atau menghina serta tindak boleh menggambarkan organ seks secara terbuka. Kalau anda tampil tanpa busana di televisi tidak masalah asal tidak ada kelompok masyarakat yang mempermasalahkannya, termasuk adegan yang mungkin di negara kita dianggap tidak sopan dan tidak senonoh. Saat ini, televisi di AS sedang persiapan pengalihan dari analog ke digital hingga Februari 2009. Pada tahun ini, sudah tidak boleh lagi ada siaran dengan sistem analog sepertgi Bima TV sekarang. Perubahan kepemiikan maupun perubahan acara televisi juga harus dilaporkan dan disetujui oleh FCC. Tidak boleh ada saham baru yang masuk ke sebuah stasiun televisi, tanpa terlebih dahulu memperoleh ijin dan pengesahan dari FCC. Kepemilikan stasiun penyiaran di AS diatur sangat ketat. Kendati Anda punya banyak uang, tapi tidak diperbolehkan untuk memiliki lebih dari satu stasiun. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat lain menggunakan frekwensi yang merupakan ruang publik yang sangat terbatas itu. Di AS tidak dikenal ada televisi nasional. Semuanya lokal dan yang boleh dilakukan jika ingin siarannya ditonton di daerah-daerah adalah dengan berafiliasi atau bekerjasama dengan televisi lokal setempat. Contohnya kalau RCTI mau ditonton oleh masyarakat Bima, maka harus berafialisi dengan Bima TV. RCTI tidak diperbolehkan membangun transmisi di Bima. ''Hal ini dimaksudkan supaya ada kompetisi, keragaman, dan memberikan kesempatan pada masyarakat lokal. Juga ada ketentuan berapa persen konten lokal yang harus disiarkan dalam afiliasi tersebut,'' kata Carowitz. Televisi di AS juga hanya boleh ditonton maksimum 39 persen dari jumlah pemirsa televisi. Tidak boleh lebih dari itu dan akan dirating secara ketat oleh lembaga independen. Setelah bertemu dengan anggota FCC, saya diagendakan bertemu dengan Mr Bob Corn-Revere, Partner, Washington DC office, Davis Wright Tremaine LLP. Dia adalah pengacaranya media yang dirugikan oleh regulasi atau oleh aturan pemerintah. Saat ini da sedang menangani kasus Jeanett Jackson yang dituntut oleh masyarakat karena dianggap berbuat tak senonoh di depan public saat siaran salah stasiun televisi di AS. Banyak hal yang kami perbincangkan, namun isinya akan banyak saya kupas pada bagian terpisah. Demikian pula dengan pertemuan dengan sejumlah tokoh lainnya. Pada tulisan ini saya hanya ingin menulis tentang perjalanan saya, belum masuk pada inti dan hasil pertemuan. Masih pada 31 Juli 2007, sekitar pukul 14.45, saya bertemu dengan Mr Wally Dean, Broadcast/Online Director, Commitee for Concerned Journalists (CCT), di kantornya National Press Building Washington DC. Banyak hal yang juga kami bicarakan dalam pertemuan lebih dari satu jam itu. Bahkan Dean memberikan saya sebuah buku hasil risetnya soal media di AS. Pada 1 Agustus 2007, saya diterima Ethan Glick, Desk Officer for Indonesia di United States Departemen of State. Dia memberikan banyak pandangan dan kebijakan negaranya kepada saya dalam overview yang berlangsung satu setengah jam. Glick mengatakan, AS mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap keamanan global. Sebab hanya dengan keamanan yang terjaga, setiap negara bisa membangun ekonomi, politik dan demokrasi. ''Tidak mungkin akan terbangun politik dan demokrasi yang baik jika masyarakat secara ekonomi masih miskin,'' katanya. Menurut dia, salah satu syarat untuk pembangunan ekonomi, adalah terciptanya keamanan yang baik. Untuk kondisi global seperti sekarang ini, kekacauan pada sebuah negara akan berdampak pada negara lainnya, termasuk AS. Menjawab pertanyaan saya mengapa AS terkesan terlalu campur tangan dengan urusan dalam negeri negara lain, Glick dengan diplomatis berujar, karena memang pemerintahnya peduli. ''Mestinya kan bukan hanya pemerintah AS saja yang peduli, tetapi juga negara-negara lain,'' tambah Glick. Dia mencontohkan betapa pentingnya keamanan di Selat Malaka. Selat Malaka, dalam pandangan AS bukan hanya milik Indonesia di mana keamanannya hanya menjadi tanggungjawab Indonesia, tetapi juga harus menjadi tanggungjawab semua negara. Kepentingan banyak negara di Selat Malaka harus menjadi prioritas perhatian, mengingat tempat itu menjadi pintu bagi angkutan laut dalam perdagangan global. ''Kalau selat itu tidak terjamin keamanannya dan jatuh pada perompak atau teroris, maka kepentingan perdagangan global akan terganggu,'' ujarnya. Ditanya tentang imej orang AS jika ditanya tentang Indonesia, menurutnya pasti akan berpikir soal teroris. Padahal diakui Glick, teroris bukanlah mayoritas dilakukan oleh orang Indonesia. Namun demikian, Glick optimis Indonesia akan menjadi negara yang maju dan diperhitungkan baik di tingkat Asean maupun dunia. Peran Indonesia akan makin strategis dalam banyak aspek, terutama di Timur Tengah. Sebagai anggota PBB, Indonesia punya peran penting dan bisa lebih terus tingkatkan lagi di masa-masa yang akan datang. ''Saya harap Indonesia nakan menjadi leader di negara-negara ASEAN, walau belakangan ada penurunan soal itu,'' tambahnya. Berbicara soal Iraq, mengapa AS berkorban demikian besar, Glick lagi-lagi berujar karena negaranya peduli. ''Sebagai pejabat pemerintang AS Serikat, saya katakan karena memang kami (AS) peduli untuk keamanan global,'' tandasnya. Saya sempat bertanya banyak hal, termasuk upaya AS membangun komunikasi dengan negara-negara Islam soal sikap mereka dan imej negara-negara Islam terhadap sikap mereka. Dia mengakui itu memang tidak mudah, sebab di kalangan negara-negara Islam sendiri pun, masih beda soal ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar