Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (6)

Dia adalah pria sederhana yang masih muda dan ternyata seorang mualaf. Namanya Jon Goodell. Pria kelahiran Missouri ini masuk Islam tahun 2002 lalu. Usai bertemu dengan saya pada siangnya, Jon mengundang saya untuk dinner di kediamannya. Saya dengan senang menerima tawaran itu, tetapi sayang keingian saya untuk bertemu dengan keluarganya gagal. Pasalnya, Jon meminta maaf tidak bisa menjamu di rumah, karena anaknya masih kecil sudah tidur. Saya kemudian di ajak ke restoran China yang berada dipinggiran kota Little Rock. Kami mengobrol banyak hal, termasuk mengenai alasannya mengapa memilih Islam menjadi agamanya. Pria yang lahir dari keluarga Kristen di Kota Missiori ini mengaku, sejak lahir tidak mengikuti agama manapun, termasuk kegiatan ibadah kedua orang tua. Setelah menikah dan mempunyai anak pertama, hatinya mulai gelisah dan kemudian memilih Islam. Ketika saya bertanya mengapa memilih Islam, dia terdiam sejenak lalu menjawab, “Tidak ada alasan. Ya, saya pilih saja dan saya merasakan hati saya menjadi tentram.” Saya menyatakan, dalam Islam itu ada istilah hidayah. Anda beruntung, sebab telah memperoleh hidayah dari Allah SWT dan menjadi manusia pilihan. Saya katakan, banyak juga umat muslim yang terus bergelimang dosa sampai akhir hayatnya, tanpa memperoleh hidayah dari Allah SWT, sehingga tidak bersempat bertaubat. Saya ucapkan selamat. Kami juga berdiskusi banyak hal, termasuk soal daerah saya dan Indonesia, serta kehidupan Muslim di Indonesia. Dia menanyakan banyak hal dan saya menejalaskan semampunya. Keadanya saya memberikan sebuah souvenir kecil berupa selendang tenun dari desa kelahiran istri saya, Runggu Kecamatan Belo. Dia senang sekali dan memakainya sampai kerumah. “Istri saya pasti senang sekali,” katanya sambil mengucapkan terimakasih dan pamit setelah mengantar saya ke hotel tempat saya menginap. Selain tur, di Little Rock saya sempat ke kediaman Gubernur Negara Bagian Arkansas, Mr Mike Beebe, bertemu dengan Pemred Arkansas Times dan juga berjalan-jalan ke pasar tradisional. Sebelum meninggalkan Little Rock, saya menerima piagam dari pemerintah Negara Bagian Arkansas yang ditandatangani oleh Gubernur Mr Mike Beebe. Piagam itu diserahkan oleh Dr Walter Nunn yang didampingi oleh Tommy Priakos di Hotel Double Tree. Dr Nunn mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang besar karena telah mengunjungi negaranya. Dia menyampaikan salam hormat gubernur yang tidak sempat bertemu. Tetapi dengan diberikan piagam tersebut, kata Dr Nunn, maka saya telah dijadikan duta wisata Negara Arkansas untuk Indonesia. “Jadi Ada punya kewajiban untuk menjawab dan menjelaskan kepada siapa pun di Indonesia tentang Arkansas,” katanya dalam sambutan singkat saat penyerahan piagam. Saya juga mengucapkan banyak terimakasih dan akan berusaha mengemban amanah Negara Bagian Arkansas sesuai dengan kemampuan saya. Bagi saya, waktu empat hari di Arkansas terlalu sempit untuk mengenal negara bagian itu secara utuh. Tetapi, dengan bekal video, brosur, dan panduan wisata Arkansas, saya memiliki sedikit bekal untuk menjalankan amanah saya itu. SETELEH menyelesaikan perjalanan dan pertemuan di Little Rock, Arkansas, sejak 4 Agustus 2007, pada Rabu 8 Agustus 2007, saya melanjutkan perjalanan ke Detroit, Negara bagian Arkansas. Dengan menggunakan Amerikan Airlines, saya terbang pukul 11.30. Pesawat DC 9 seri 80 yang saya tumpangi, tidak langsung ke Detroit, tapi mampir sekitar satu jam di Bandara International Memphis, Negara bagian Tennessee. Jarak tempuh dari bandara nasional Little Rock ke Memphis hanya sekitar 40 menit. Setelah istirahat sebentar, pesawat kemudian melanjutkan perjalanan ke negara bagian yang berbatasan langsung dengan Toronto, Kanada. Butuha waktu 2,5 jam sebelum pesawat mendarat di Bandara International Detroit, yang merupakan home base perusahaan penerbangan terbesar di AS, Northwest Airlines. Di Negara bagian yang memiliki industri mobil terbesar di AS ini, saya menginap di Holiday Inn Express Birmingham, hotel yang memang sudah dibooking untuk saya. Begitu check in, saya bersama pendamping saya, langsung disodorkan sebuah map yang bertuliskan nama saya yang berisi puluhan brosur, buku, dan juga VCD tentang Detroit. Selain itu, juga sudah ada jadwal baku apa yang harus saya lakukan selama empat hari berada di kota yang memiliki danau dan pelabuhan laut terbesar di Amerika itu. Pagi 9 Agustus 2007, saya sudah harus meeting dengan Ms Julie Oldani, Executive Director International Visitors Council of Metropolitan Detroit. Dalam pertemuan santai di hotel Holiday Inn ini, saya mendapatkan banyak gambaran tentang Detroit dengan aneka hingar bingar ekonomi dan politiknya dari Julie. Dalam pertemuan yang penuh keakraban itu, Julie menjelaskan sejumlah acara yang sudah terjadwal buat saya yang harus diikuti mulai hari itu, sampai meninggalkan Detroit pada 11 Agustus 2007. Acara pertama yang harus saya jalankan, pada Kamis pukul 10.30 saya harus bertemu Mr Adil James, Managing Editor Mingguan The Muslim Observer. Dalam pertemuan dengan Adil, saya memperoleh gambaran utuh bagaimana Koran muslim yang cukup disegani di AS itu dikelola. Kata Adil yang menikah dengan wanita Malaysia itu, korannya selain dibaca oleh masyarakat muslim di AS, juga dibaca oleh warga AS keturunan Yahudi serta warga AS lainnya. Cuma saja memang ada masalah internal yang diakui Adil cukup mengganjal dalam memprediksi masa depan The Muslim Observer. Kendati disegani dan dibaca banyak orang, ternyata koran itu masih harus terus disubsidi oleh pemiliknya, yang merupakan warga AS keturunan India. ‘’Dia orang yang kaya dan masih punya cukup banyak uang untuk mendanai kelangsungan penerbitan koran ini,’’ katanya. Tetapi setelah ditanya sampai kappa pria yang kabarnya sudah berusia 70-an tahun itu akan membiayainya, ia sulit menjawab. ‘’Kalau dia meninggal misalnya? ’’ Adil mengaku sudah sejak dua tahun lalu meminta untuk mengelola media muslim itu secara professional. Tetapi diakuinya, pemilik masih enggan untuk menyerahkan. Dalam menentukan kebijakan redaksional, pemilik uang yang sekaligus menjadi pemimpin umum The Muslim Observer, tetap ikut campur. ‘’Dia yang menentukan arah kebijakan isi redaksional Koran ini,’’ ujarnya. Usai bertemu dengan Adil, saya makan siang di Yasmeen Bakery, restoran masakan Arab yang dikelola warga AS keturunan Arab. Di restoran ini saya memesan menu yang ada unsur nasi dan daging. Saya kemudian disodorkan sepiring nasi putih yang dicampur dengan daging yang dimasak dengan semacam daunan, tetapi rasanya agak kecut. Mungkin kalau di Bima bisa dibilang saronco. Daging dan nasi tidak dipisah, tetapi langsung dicampur. Setelah membayar 10 dolar AS, saya kemudian membawanya ke ke sebuah meja di salah satu sudut ruangan restoran Arab ini. Dalam hati saya berpikir, daripada saya makan roti terus, lebih baik saya makan nasi yang sudah dicampur seperti ini. Rasanyapun, ternyata tidak terlalu jauh dengan masakan Bima. Usai makan siang, sekitar pukul 15.30 saya sudah ditunggu Mr Eide Alawan, di Islamic Center of America di Kota Dearbon. Setelah melalui perjalanan berliku, saya kemudian menemukan sebuah bangunan masjid yang sangat megah. Menurut Eide, bangunan masjid dengan Islamic center itu dibiayai selain dari sumbangan perorangan, juga datang dari sebuah yayasan keluarga (family foundation) di Kuwait. ‘’Mereka menyumbang cukup banyak,’’ kata Eide yang mengaku kompleks itu dibangun dengan total dana sekitar 16 juta dolar AS. Islamic center of America dan masjid itu, berdampingan dengan sebuah gereja. Bahkan dulu, kata Eide, diapit oleh gereja dan sekolah Kristen. ‘’Tetapi sekolah Kristen yang ada di sebelah barat kita sudah kita beli dan dijadikan sebagai pusat kegiatan pemuda Islam AS,’’ katanya. Ada yang menarik dalam pertemuan dengan Eide Alawan, pria yang cukup dinamis dan lincah ini selain mengajak saya mengelilingi kompleks Islamic Center, juga membawa saya masuk ke dalam masjid. Di dalam masjid, baru terungkap kalau di tempat ibadah yang satu ini boleh shalat bersama antara muslim dan muslimah. Hal itu baru terungkap ketika saya tanyakan apakah wanitanya shalat di balkon. ‘’Oh tidak. Mereka (wanita, Red) juga shalat gabung dengan pria di tempat ini (di lantai yang sama),’’ katanya. Kok bisa? Ternyata masalah ini sempat ramai dipersoalkan kalangan muslim di AS. Dia menjelaskan, shaf wanita dan pria tidak digabung. Jika pada shaf tertentu sudah ada pria yang berdiri, maka secara otomatis itu akan menjadi shafnya pria dan sebaliknya. Mereka memang shalat campur, tetapi tidak boleh pada shaf yang sama. Dalam hati saya sempat berpikir, kalau di Indonesia ini pasti ramai. Alasannya sederhana saja, di AS perjuangan wanita untuk sama derajatnya dengan pria sudah sampai pada titik seperti itu. Dia kemudian bertanya bagaimana wanita Islam di Indonesia, saya katakana tidak ada masalah. Bukankah wanita muslim di Indonesia pernah jadi presiden? Dia terkaget-kaget dan sangat kagum dengan Indonesia. ‘’Saya kagum dengan negara Anda yang bias memberikan ruang bagi wanita untuk menjadi prmimpin sebuah negara,’’ katanya. Pada Jumat, 10 Agustus 2007, sesuai jadwal yang saya terima, sudah ditunggu oleh Mr Imad Hamad, Director American-Arab Anti-Discrimination Committee (ADC) di kantornya depan kantor Walikota Dearborn. Dalam pertemuan yang berlangsung hingga pukul 10.30 itu, saya banyak memperoleh informasi mengenai perjuangan mereka (warga AS keturunan Arab baik yang muslim maupun Kristen) menghadapi perlakuan diskriminasi di AS. Perjuangannya kemudian makin berat ketika terjadinya peristiwa peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) di New York 11 September 2001 lalu. Peristiwa yang kemudian oleh warga setempat lebih dikenal dengan istilah nine eleven itu, ternyata membuahkan banyak dampak kurang baik bagi warga Arab di AS. ‘’Sebelum itu memang sudah ada dan banyak laporan yang kami (ADC) tangani, tetapi menjadi semakin banyak setelah nine eleven,’’ katanya. Kendati kasus yang ditangani bisa lebih dari 300 laporan, tetapi tidak semuanya diselesaikan di pengadilan. ‘’Banyak kasus yang bias kami selesaikan di luar pengadilan,’’ jelasnya. Hal yang paling tidak bisa diterima oleh ADC, kata Imad adalah terlalu ketatnya standar keamanan yang diberlakukan oleh pemerintah AS setelah perisitiwa peledakan gedung kembar itu. Sejumlah aturan dan Undang Undang muncul, termasuk soal keamanan negara. ‘’Malah hak kebebasan (liberty) sudah dikorbankan oleh pemerintah dengan dalih keamanan,’’ katanya. Menurut Imad, apa yang dilakukan oleh pemerintah AS sudah berlebihan, sehingga hak-hak kebebasan warga negaranya juga sudah diabaikan. ‘’Kami akan terus memperjuangkan agar pemerintah tidak lagi (ketat) seperti sekarang,’’ katanya. Setelah bertemu Imad, saya kemudian bertemu dengan Marylynn G Hewitt, Managing Editor, Michigan Catholic Newspaper sekitar pukul 10.45. Saya juga mendapatkan gambaran bagaimana suka duka Marylynn mengelola redaksi koran yang melayani umat Katolik yang bukan hanya di Michigan itu. Kendati oplahnya sudah mencapai angka 25 ribu eksemplar, Koran ini masih harus terus disubsidi penerbitannya oleh gereja Katolik di Detroit. Cuma beda dengan The Muslim Observer, pihak gereja yang mendanai koran ini,tidak ikut campur dalam urusan redaksional. ‘’Semuanya kami punya kewenangan,’’ ujar Marylynn. Kesimpulan sementara saya, ternyata koran yang melayani segmen atau kelompok tertentu, pasti akan sulit berkembang. Pada pukul 15.15 setelah makan siang, saya menuju Islamic Assosiation of Greator Detroit. Karena agak telat, saya tiba saat shalat Jumat sudah dimulai. Saya kemudian menunggu di mobil dan kebetulan di masjid ini diadakan shalat Jumat dua tahap. Setelah bertemu imam masjid itu, saya kemudian ikut shalat Jumat. Tidak ada meeting di tempat ini, kecuali peninjauan ke seluruh ruang dan perpustakaan. Pukul 17.30 saya meluncur ke kediaman Mr Muhammad Mazhar, seorang warga AS keturuna Pakistan yang menikahi gadis warga asli AS, Mrs Robin Mazhar. Saya diundang dinner (makan malam) dalam program dinner hospitality. Saya diterima dengan sangat bersahabat oleh keluarga muslim ini. Banyak hal yang kami perbincangkan, termasuk soal film India. Betapa kagetnya mereka ketika saya cerita kalau film India di Indonesia itu sangat populer, bahkan lebih populer dari film produksi dalam negeri Indonesia sendiri. Mereka sangat kagum ketika saya tahu sejumlah nama bintang India yang sering nongol di televisi nasional seperti Sahrul Khan, Raani Mukherji, Kajol, dan lain-lain. Dinner di AS, sebetulnya hanya dilihat dari jam saja. Kalau di luar sih masih terang benderang. Waktu shalat Magrib di AS sekitar pukul 20.20 menit. Artinya, hari masih terang kendati jam sudah menunjuk angka 20.30. Sekitar tiga jam saya di rumah keluarga ini. Selain bercerita soal Pakistan, India dan Indonesia, kami juga bercita banyak hal tentang keluarga kami masing-masing dan daerah asal masing-masing. Mr Mazhar mengaku sangat suka mangga tetapi belum pernah merasakan nikmatnya durian. Karena acaranya dinner, tentu saja acaranya makan malam. Tetapi jangan bayangkan kalau yang kami makan adalah nasi dengan aneka lauk pauknya. Yang pertama kaluar, sejumlah jenis buah dan minuman ringan. Karena saya agak pilek, saya kemudian dibuatkan teh angat. Ada wortel, timun, melon, dan juga buah zaitun. Ada juga gandum yang diprekedel dan irisan bawang Bombay seukuran gelang tangan yang digoreng dengan tepung. Saya coba yang tidak saya kenal, termasuk buah zaitun yang direbus asin pedas. Tahap kedua, daging ayam panggang yang dipotong besar-besar muncul. Semua masakan tersebut dibuat oleh istri Mr Muhammad Mazhar, yaitu Mrs Robin. Hanya ada roti dan aneka lalapan. Daging ayam ada yang dibakar dengan bumbu dan dibakar biasa. Karean saya pilih yang tidak dibumbu, Mr Mazhar menyodorkan sepotong ayam yang dibumbu untuk saya cicip. Tahap ketiga, keluar roti yang dibaluri es krim. Saya hanya makan sisi yang tidak dibasahi oleh es karena saya sedang flu. Melihat itu, istri Mr Mazhar mengambil obat flu. Tahap keempat keluar lagi minuman sebagai penutup. Sebagai gambaran, di kota Dearborn di Michigan banyak dihuni masyarakat muslim, terutama dari Arab dan Pakistan. Mereka sudah dua bahkan sampai generasi ketiga tinggal di Dearborn. Selain bekerja dengan pemerintah, mereka ada juga yang buka supermarket, restoran, toko buku dan aneka usaha lainnya. Bahkan pemukiman Arab Pakistan banyak diwarnai dengan huruf-huruf Arab untuk nama usaha mereka. Acara dinner hospitality menjadi acara penutup saya di Detroit. Saya kemudian kembali ke hotel dan mempersiapkan diri untuk terbang siang pada Sabtu, 11 Agustus 2007. SETELAH menuntaskan program di Detroit, negara bagian Michigan pada 11 Agustus 2007, perjalanan saya lanjutkan ke kota Albuquerque, di negara bagian New Mexico. Kota ini bukanlah ibukota dari New Mexico, tetapi merupakan kota terbesar di negara bagian ini. Setelah terbang dua setengah jam dari Detroit menggunakan American Airlines, saya sempat mampir satu jam di bandara internasional Dallas, di negara bagian Texas. Saya tiba di bandara Albuquerque sekitar pukul 15.05. Ada perbedaan waktu dua jam antara Detroit dengan Albuquerque. Saya sempat kaget karena seorang wanita berumur –mungkin lebih pas disebut nenek-nenek— menenteng nama saya dengan hiasan ala Indian, menjemput saya dan Pak Irawan di bandara. Dengan ramah dia menyapa selamat datang dan semoga perjalanannya menyenangkan. Ini tentu saja menjadi kenangan tersendiri yang tak bisa saya lupakan. Dibandingkan dengan negara bagian lainnya di AS, New Mexico dari pesawat terlihat gersang. Sangat jarang ada pohon di kota ini. Bandaranya pun, biasa saja. Artinya, tidak sementereng dan seramai bandara lain yang pernah saya singgahi. Dari tujuh bandara yang pernah saya lihat di AS, bandara ini terbilang kecil dan jumlah pesawat yang parker juga sedikit. Mungkin bandingannya hanya bandara nasional Little Rock. Tetapi penumpang pesawat yang saya ikuti, jumlahnya tidak sedikit. Nyaris tak ada tempat duduk yang kosong. Setelah sejenak berbasa-basi, sang ibu yang kemudian saya tahu bernama Maria del Carmen L. Martin itu, mengambil mobilnya di tempat parkir untuk mengantar saya ke tempat penyewaan mobil yang memang sudah disiapkan untuk perjalanan saya di kota ini. Saya kaget, ternyata dia menyetir sendiri mobil tua yang yang berukuran mini bus. Carmen, yang ternyata adalah Prorammer The Albuquerque Council for International Visitors, membawa saya ke Budget Rental Car yang berada di areal bandara. Saya yang didampingi Irawan Nugroho, interpreter yang ditugaskan oleh pemerintah AS itu, mengambil mobil yang sudah disiapkan dengan nomor booking yang telah kami terima. Kami kemudian menuju Sheraton Hotel untuk istirahat sebelum menjalankan program keesokan harinya. Tadinya seperti di Little Rock pada hari Minggu tidak ada program, ternyata salah. Carmen pagi-pagi sudah datang dan mengajak kami untuk keliling kota Albuquerque. Setelah berfoto-foto di jembatan panjang, Carmen mengajak kami ke Indian Pueblo Cultural Center untuk menyaksikan dancing. Di tempat ini saya baru langsung benar-benar berkenalan bahkan berfoto bersama dengan para penari yang asli Indian suku Pueblo. Mereka cukup ramah. Di tempat yang dikelola dan dibangun oleh Indian Suku Pueblo di tengah kota Albuquerque ini, ternyata cukup ramai juga. Puluhan turis dari berbagai negara dan negara bagian AS, dating untuk menyaksikan model kehidupan sukui asli Indian Pueblo itu. Saya sempat menyaksikan tiga tarian yaitu tarian kerbau, tarian menjangan dan tarian pelangi, sebelum akhirnya menyaksikan bagaimana suku ini membuat pakaian mereka. Ternyata cara mereka menenun kain, tidak jauh berbeda dengan kita di Bima maupun di Ranggo Dompu. Mereka menggunakan alat tenun sederhana dengan memasukan benangnya satu persatu. Saya sempat mengabadikan berbagai aspek kehidupan mereka di tempat itu. Rupanya kehidupan tradisional suku Indian di AS sudah biasa dijual dan menjadi salah satu obyek wisata. Di tempat ini, selain menyaksikan tarian dan suguhan lainnya, wisatawan juga bias membeli aneka souvenir yang dijual di tempat itu. Kalau di luar, bangunan terlihat biasa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar