Selasa, 29 Maret 2011

Sudut Pandang!

KPUD, DK, dan Muhammadiyah Bima
Oleh: Khairudin M. Ali

PADA tahun 2009 lalu, saya pernah menemui Ketua PD Muhammadiyah Kota Bima, Ihwan P Syamsudin yang saat itu masih menjabat sebagai anggota KPUD Kaputen Bima. Saat itu juga, dia sedang mengikuti seleksi untuk menjadi anggota KPUD Kabupaten Bima, untuk periode berikutnya. Sebelumnya pun, saya pernah bertamu ke ruang kerja Ketua KPUD Kota Bima, Ilyas Sarbini, SH yang saat ini menjadi anggota KPUD Provinsi NTB.
Keduanya saat itu, adalah sama-sama menjabat sebagai komisioner KPUD, kendati berbeda wilayah otonomi. Keduanya juga adalah sama-sama petinggi PD Muhammdiyah Bima, dan sama-sama menjadi petinggi di perguruan tinggi milik Muhammadiyah di Bima.
Kendati tujuan bertemu dengan kedua petinggi Muhammadiyah Bima ini memiliki kepentingan yang berbeda, tetapi isi pembicaraan dan materi yang saya sampaikan, relatif sama, yaitu kekhawatiran saya mengenai ‘terlampau’ besarnya peran yang diambil kader Muhammadiyah sebagai penyelenggara Pemilu dan Pemilukada di Kabupaten dan Kota Bima.
Saya bukannya iri karena tidak mendapat porsi, tetapi lebih pada pengawalan terhadap kader-kader potensial yang dimiliki oleh daerah ini. Pada kesempatan bertemu dengan Ilyas Sarbini, saya didampingi dua pengurus PWI Bima yang baru saja terpilih pada akhir 2007, untuk masa tugas 2007-2010. Mereka adalah sekretaris PWI Bima, Sofran YB Idzani (sekarang Ketua PWI terpilih pada Konferensi PWI Perwakilan, 20 Maret 2011), dan bendahara, Azhari SH. Pada saat itu saya sampaikan kegusaran saya soal peran kader Muhammadiyah dan upaya membangun citra mereka di masa datang. Saya katakan, sebagai kader-kader terbaik Bima (bukan hanya Muhammadiyah), ketika memperoleh peran itu, harus menjaganya dengan baik agar target-target yang lebih besar di masa mendatang bisa diwujudkan.

Secara terbuka saya sampaikan koreksi, bukan protes karena tujuannya sekali lagi untuk mengawal mereka agar bisa mengambil peran penting di masa mendatang. Peran penting ini, dalam pandangan saya, bukan sebatas menjadi komisioner KPUD, tetapi lebih sebagai calon pemimpin di masa mendatang. Sejak pertemuan itu hingga saat ini, saya belum mendapatkan sesuatu yang saya anggap signifikan atau sejalan dengan harapan-harapan saya. Malah dalam langkah-langkah selanjutnya, saya menemui banyak hal yang kontra produktif dan jauh dari harapan-harapan yang sudah saya sampaikan secara terbuka kepada keduanya.
Demikian pula saat saya menemui Ketua PD Muhammadiyah, Ihwan P Syamsudin. Saat itu, saya sudah menjadi Ketua Panwaslu Kota Bima, untuk Pemilu 2009. Kedatangan saya menemui Ihwan, menindaklanjuti apa yang pernah saya sampaikan pada Ilyas Sarbini, ketika menghadiri acara pelantikan anggota Panwascam se Kota Bima, berkaitan dengan keinginan saya untuk menjual Bima TV kepada Muhammadiyah Bima.
Di ruang kerjanya, di PKU Muhammadiyah Bima, jalan Gajah Mada, saya berbicara banyak hal dengan Ihwan. Selain menindaklanjuti keinginan saya untuk menjual Bima TV saat itu, kami juga sempat berdiskusi hal lain, terutama soal peran kader Muhammadiyah Bima dalam penyelenggaraan Pemilu di daerah ini. Karena sama-sama calon anggota KPUD (ketika itu saya calon di Kota Bima), saya sampaikan mengapa saya mendaftarkan diri untuk menjadi salah satu anggota KPUD. Di antaranya saya ingin menjadi penyeimbang, di tengah ‘terlampau’ kuatnya peran yang diambil oleh kader-kader Muhammadiyah. Karena menurut saya, jika peran satu kelompok terlampau kuat, maka potensi penyimpangan yang tidak terkontrol sangat mungkin terjadi.

Lihat saja pada Pemilu 2009. Tidak ada satu kasus pun yang bisa diselesaikan pada pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Bima, karena saya menduga, seluruh anggota Panwaslu juga adalah kader Muhammadiyah. Mereka akan ‘sulit’ mengontrol kinerja KPUD yang didominasi kader Muhammadiyah yang rata-rata adalah guru mereka. Posisi Panwaslu yang mestinya lebih kuat, tetapi faktanya sangat lemah karena kader yang ada di Panwaslu jauh di bawah kader Muhammadiyah yang berada di KPUD.
Coba bandingan dengan penyelenggaraan Pemilu 2009 di Kota Bima, di mana Panwas cukup kuat karena diisi oleh hampir 100 persen bukan kader Muhammadiyah. Panwaslu Kota Bima meraih prestasi yang membanggakan, sehingga memberikan kontribusi utama bagi prestasi Panwaslu NTB yang berada pada posisi ketiga secara nasional, dalam menyelesaikan banyak kasus Pidana Pemilu maupun pelanggaran administrasi Pemilu.
Kata penyeimbang dalam hal ini, adalah bisa bermakna positif, dalam upaya mengontrol kekuasaan penyelenggara Pemilu secara internal. Jika ini yang terjadi, maka saya punya keyakinan jika ada keinginan untuk tidak taat aturan, ketika ada kontrol secara internal di kalangan anggota KPUD, maka hal itu bisa dieleminir, walau akhirnya adalah mekanisme pleno yang digunakan.
Apa yang menjadi kegusaran pada pada 2007 dan saya sampaikan lagi pada 2009, ternyata kini menjadi kenyataan. Lihat saja ketika proses pemilihan calon ketua KPUD Kota Bima. Banyak kalangan berharap, ketua dipegang Drs Gufran M.Si, yang merupakan kader matang yang juga Ketua STISIP Mbojo. Apa yang terjadi, justeru Nur Farhaty tidak mau mengalah kepada atasannya di kampus itu. Siapa yang berperan dalam hal ini? Sejumlah kalangan internal STISIP yang gusar akan kenyataan itu, melihat peran Ilyas Sarbini (saat itu sudah menjadi anggota KPUD NTB), sangat menentukan sejak awal.
STISIP merasa tidak nyaman manakala dua kader mereka bersaing di lembaga lain untuk merebut posisi ketua. Ketua Yayasan STISIP Mbojo Bima, Mukhtar Yasin mengaku sangat kecewa dan malu dengan kenyataan itu. Inilah salah satu yang saya sebutkan di awal tulisan di atas, ada hal yang kontra produktif dari yang saya kehendaki dalam dua diskusi terpisah itu.
Ujian berikutnya bagi Ilyas Sarbini bagi saya, yang tentu saja tidak disangka adalah adanya laporan keterlibatan Sofran dan Fatmathul Fitriah yang saat itu baru saja dilantik sebagai anggota KPUD Kota Bima, menjadi pengurus partai. Saya pun yang ketika itu menjadi ketua Panwaslu Kota Bima, ikut kaget karena kader pers yang sudah duduk manis sebagai komisioner KPUD Kota Bima, ternyata terlibat sebagai pengurus partai. Saya merasa telah kecolongan, sebab Sofran yang saat itu sekretaris PWI Bima, juga mestinya, tidak boleh mengurus partai. Laporan itu masuk di Panwaslu NTB. Panwaslu Kota Bima, kami kemudian diperintahkan untuk menindaklanjutinya.
Ilyas Sarbini yang menjadi Koordinator Divisi Hukum KPUD NTB ditunjuk melalui pleno KPUD NTB, menjadi salah satu dari tiga anggota Dewan Kehormatan (DK) KPUD NTB untuk menyidangkan Fatmathul Fitriah dan Sofran.
Hasilnya, tentu di luar dugaan saya walau hasilnya tetap kami terima. Fatmatul yang menurut kajian Panwaslu Kota Bima secara administratif sangat kuat bukti-bukti kepengurusannya di Partai Matahari Bangsa (PMB), lolos dan hanya diberikan peringatan. Sementara Sofran yang tercantum namanya sebagai pengurus Partai Demokrat, dipecat sebagai anggota KPUD Kota Bima. Dalam konteks ini, lagi-lagi publik melihat upaya penyelamatan telah dilakukan secara tidak fair. Tentu saja tidak bisa dihindari, Ilyas Sarbini ikut terseret-seret.
Kini ujian akhir segera dimulai. Dengan keluarnya rekomendasi Bawaslu nomor 118/Bawaslu/III/2011, maka ujian berat itu, benar-benar sedang dihadapi Ilyas Sarbini. Dalam kapasitasnya sebagai Koordinator Divisi Hukum, ia telah ditunjuk melalui pleno untuk menjadi anggota Dewan Kehormatan untuk menyidangkan ketua dan seluruh anggota KPUD Kabupaten Bima. Mereka telah dianggap melanggar kode etik dan melanggar asas penyelenggara Pemilukada, karena diduga kuat turut serta mengubah SK Nomor 02/FR/III/2010 secara tidak sah, atau membenarkan perubahan SK itu, secara tidak sah atau membiarkan digunakannya SK yang tidak sah tersebut sebagai dasar penerbitan fatwa hukum oleh Ketua Pengadilan Negeri Raba Bima, terhadap putusan PN Raba Bima, pada perkara nomor 300/Pid-B/2010/PN TBI. Seperti disebutkan Bawaslu sebagai dasar terbitnya rekomendasi tersebut, bahwa pada SK tersebut telah menghilangkan nama terpidana dari susunan tim kampanye pasangan nomor urut 1 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Karena itu, pada poin dua Bawaslu meminta untuk memberhentikan ketua KPUD Kabupaten Bima dan seluruh anggotanya melalui sidang Dewan Kehormatan KPUD Propinsi Nusa Tenggara Barat.
Saat ini DK sudah terbentuk. Semua tudingan itu akan dibuktikan dalam sidang DK. Salah satu anggotanya adalah Ilyas Sarbini. Bagaimana hasilnya, ini tentu saja sangat berat. Ini yang saya sebutkan sebagai ujian berat dan ujian akhir bagi Ilyas Sarbini. Dia harus menyidangkan teman-temannya. Pertaruhan berat akan terjadi. Apakah memilih investasi jangka pendek dengan membela teman-temannya sesama kader Muhammadiyah, ataukah memilih bekerja profesional, investasi jangka panjang, demoi kehormatan dan membangun integritas, serta nama baik bagi dirinya sebagai seorang intelektual yang patut diberikan tempat terhormat di masa yang akan datang. Kini semua ada di tangannya. Walau Ilyas hanya memiliki satu suara, tetapi sangat menentukan karena hanya akan diputuskan oleh tiga suara pleno bagi masa depan teman-temannya di KPUD Kabupaten Bima dan Muhammadiyah.
Kegusaran saya empat tahun lalu, tentu bukan hanya seorang diri. Sejumlah intelektual muda yang saya ajak diskusi, merasakan aroma yang sama serta memiliki analisis yang tidak jauh berbeda. Bahkan secara nyata, sejumlah warga Bima yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat Pengawal Demokrasi, menolak Ilyas sebagai anggota DK KPUD NTB.
Saya bukanlah orang yang suka apriori. Ilyas boleh saja pernah keliru mengambil langkah di masa lalu, tetapi bisa saja saat ini bekerja profesional. Walau banyak pihak meragukan dengan alasan yang memang bisa dipahami, tetapi kita harus memberikan kesempatan kpada Ilyas untuk melaksanakan tugas sekaligus ujian ini.
Sekarang tinggal dia pilih, membela teman-temannya sesama kader Muhammadiyah, atau memilih sikap profesional untuk investasi kehormatannya di masa yang akan datang. Soal ini pun, sudah pernah saya sampai secara terbuka kepada Ilyas Sarbini, jauh sebelum peristiewa seperti ini terjadi. Sekarang kita tunggu saja hasil sidang dan pleno DK dan apa sikap Ilyas Sarbini, mengenai nasib rekan-rekannya, ketua dan anggota KPUD Kabupaten Bima.Lalu bagaimana sikap Muhammadiyah secara kelembagaan, jika terbukti kadernya bersekongkol dan melakukan pelanggaran? Masihnkah di masa depan Muhammadiyah bangga dan akan terus ambil peran seperti sekarang? Kita tunggu saja dan tentu akan makin menark. Bagaimana menurut Anda? (Dimuat Bimeks, 28 dan 29  Maret 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar