Jumat, 22 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (2)

Jika info awal yang saya terima di Jakarta akan ada bus yang menjemput, ternyata tidak ada. Saya harus mencari sendiri di bandara yang sangat luas itu dengan berjalan kaki. Dalam kondisi demikian, andalan satu-satunya adalah bertanya dan bertanya pada setiap loket informasi yang tersedia dan sangat banyak di bandara international ini. Ada satu yang baru yang saya dapatkan dalam pengelolaan informasi di negerinya Lie Kwan Yeuw ini. untuk membantu memudahkan pencarian, petugas tidak hanya mengandalkan bahasa lisan yang disadari memang mudah dilupakan, tetapi juga mereka menyediakan bagan bandara yang dicetak berwarna. Di mana posisi kita saat bertanya dan di mana lokasi dan arah yang dituju, dengan mudah ditunjuknya. Kertas cetakan itu dengan cekatan diberikan kepda si penanya. Jadi kita sangat mudah mencari sesuatu, seperti hotel transit Ambassador yang saya pakai untuk transit di Changi. Namun karena bandaranya yang sangat luas,saya harus menghabiskan waktu lebih dari setengah jam untuk bisa sampai ke hotel. Padahal selain berada di dalam bandara, juga kita tidak sungguh-sungguh berjalan kaki, tetapi ada eskalator yang turut mempercepat langkah kita. Saya menginap di sebuah hotel bernama Ambassador Transit t-1 kamar 22. Hotel ini telah dibooking oleh perusahaan penerbangan Northwest Airlines yang akan membawa saya ke AS. Sesuai jadwal, saya hanya boleh tidur sampai jam 02.00 dini hari, sebelum ke terminal keberangkatan untuk check in pada loket pesawat Northwest Airlines yang akan membawa saya ke Narita Jepang dan San Frasisco pada pukul 06.00 pagi. Untuk penerbangan internasional, butuh waktu paling sedikit tiga jam sebelum pesaat take off. Jumat pagi saya menggunakan pesawat dengan nomor penerbangan NW 6 jenis airbus A330-200 yang membawa saya ke Narita Jepang dengan waktu jelajah tujuh jam 25 menit. Saya tiba di Narita sekitar pukul 13.00. Hanya istirahat dua jam di bandara Narita, saya kemudian terbang ke San Fransisco pukul 15.00 waktu Narita atau pukul 14.00 Wita. Saya disarankan untuk selalu ganti dan cocokkan jam setiap mendarat agar tidak keliru saat boarding dan tidak sampai ketinggalan pesawat. Dengan perusahaan penerbangan yang sama, saya terbang dengan nomor penerbangan NW 28 pk 15.30. Bagi saya ini penerbangan terpanjang dan mendebarkan. Kami harus jelajah di atas Samudera Pasific, selama 9 jam 40 menit. Ada satu yang mengejutkan saya dalam penerbangan kali ini. Pada saat waktu di Narita masih menunjukkan angka 22.30, di luar pesawat masih malam. Artinya normal. Tetapi yang mengejutkan, ketika saya buka lagi jendela pada pukul 24.00 waktu Narita, ternyata di luar terang benderang karena waktu San Fransisco sudah pukul 08.00 pagi. Itu artinya, kurang lebih sejam lagi kami akan mendarat. Ada panduan posisi pesawat, ketinggian dan kecepatan jelajah, waktu di bandara asal dan waktu di bandara tujuan yang bisa dimonitor melalui layar monitor di depan setiap penumpang. Layar seperti ini selalu ada di setiap pesawat yang mulai saya tumpangi sejak dari Jakarta baik milik Singapore Airlines maupun Northwest Airlines. Pada layar monitor datar atau plasma ini, bukan hanya info ini yang bisa kita lihat, tetapi ada banyak pilihan seperti film atau movie, musik, informasi dan maps. Yang disebut terakhir bukan hanya untuk mengetahui posisi pesawat dengan gambar lengkapnya, tetapi juga kita bisa jelajah dunia melalui maps own. Fungsinya hampir sama dengan situs google maps di ingernet. Cuma bedanya, zoom hanya bisa sampai delapan kali dan kita hanya bisa melihat detail Kota Bima misalnya, tanpa bisa melihat detail BTN Penatoi atau rumah kita. Kalau di google maps, rumah kita termasuk pohon di halaman atau mobil yang parkir depan rumah masih bisa kita lihat dengan jelas. Tapi paling tidak, kalau ada kenalan baru yang duduk dengan kita di pesawat bisa kita tunjukan kota kita, seperti yang saya lakukan pada kenalan baru saya, Mr Larry dari Nevada dalam pernerbangan Narita-San Fransisco. Ada hal lain yang juga menjadi pengalaman baru buat saya. Kebiasaan makan nasi di Indonesia harus saya lupakan sementara. Sebab mulai dari penerbangan Jakarta-Singapura sampai saya tiba di San Fransisco setelah menginap semalam di Changi, perut saya belum tersentuh nasi. Saya mulai berpikir rasional bahwa tubuh saya butuh gizi dan bukan nasi. Apa saja saya makan tanpa memperhatikan selera, yang penting saya kunyah dan telan. Seluruh makanan yang diberikan di pesawat untuk saya, saya habiskan semua. Syukurlah sampai di San Farnsisco tidak ada masalah dengan kesehatan saya. Saya baru melihat daratan hanya sekitar lima menit sebelum mendarat di bandara international San Fransisco. Itupun kota ini ditutup awan yang cukup tebal. Kota ini berada di pantai, tepi barat AS. Seperti yang saya baca dari petunjuk yang diberikan oleh staf Kedubes AS di Jakarta, di bandara ini adalah pintu masuk ke AS bagi perjalanan saya. Saya akan berhadapan dengan pemeriksaan yang sangat ketat. Begitu saya masuk bandara, pemeriksaan imigrasi AS yang ketat, benar-benar dimulai. Inilah pengalaman pertama yang mendebarkan buat saya. Puluhan gate atau pintu masuk imigrasi AS yang hanya dibatasi dengan pita-pita seperti kalau Anda antre di bank, dijaga ketat. Seorang wanita sepertinya warga AS keturunan Jepang lalu lalang memberikan instruksi. Yang visitor atau pendatang dan citizens atau warga negara AS mempunyai pintu pemeriksaan terpisah. Saya belok ke arah kiri mengikuti rombongan penumpang visitor. Satu-satu pendatang itu diperiksa segala kelengkapan adminisrasinya, mulai paspor, visa, form kedatangan (arrival) dan form pabean yang diberikan awak Northwest di atas pesawat, serta kelengkapan lainnya. Sambil menunggu giliran, saya mengaktifkan handphone saya. Butuh waktu sekitar lima menit sebelumnya akhirnya berhasil aktif. Saya sempat gelisah juga, jangan-jangan tidak bisa aktif seperti di Bandara Narita, Tokyo Jepang. Banyak SMS tertunda yang kemudian masuk. Terutama dari istri dan anak saya, karena memang komunikasi terakhir dengan keluarga hanya di Bandara Changi,Singapura. Itu berarti sehari sebelumnya. Saya sendiri sebagai peserta program Visitor International Leadership, tidak lepas dari pemeriksaan ketat kendati saya sudah menjukkan 'surat sakti' dari Kedubes AS di Jakarta dan visa kelas 1. Malah saya merasakan ada yang aneh. Ketika petugas pemeriksa mengambil sidik jari dan foto pengunjung sebelum seperti penumpang lain sebelum saya, saya malah disuruh masuk ruangan lain. Ada tertulis secondary interview di pintu masuknya. Saya pikir pasti saya akan diperiksa lebih cermat lagi. Dugaan saya benar. Di ruang khusus itu, sudah menunggu lima orang petugas imigrasi berseragam biru tua. Seorang di antaranya yang bernama Mr Murphy, menyodorkan selembar form yang harus saya isi setelah memeriksa kelengkapan imigrasi dan bertanya banyak hal kepada saya. Pria berkepala plontos itu sangat serius menjalanan tugasnya. Angket yang harus diisi itu, sebetulnya sederhana saja. Mereka hanya menanyakan nama, umur, dan alamat bapak dan ibu, termasuk nomor telepon mereka jika ada. Setelah form saya isi, Murphy membawa saya ke ruangan yang lain. Di ruangan itu saya diinterogasi lagi, sambil menyalakan monitor komputer. Sambil bertanya kepada saya, dia mencocokan dengan data saya yang sudah ada di komputer yang dikirm secara online dari Kedubes AS di Jakarta. Dia sangat lama dan teliti melakukannya, sebelum akhirnya petugas lain bernama Mr Ohang datang. Butuh waktu 30 menit sebelum akhirnya sidik jari dan foto saya diambil lagi. Setelah semua pemeriksaan usai, Murphy kemudian berdiri menyalami saya dan mengucapkan selamat datang di AS dan selamat menikmati kunjungan. Yang menjadi masalah buat saya setelah pemeriksaan itu adalah bagasi saya. Pasti akan ada masalah karena saya telat mengambil di eskalator bagage claim yang berputar. Saya mendatangi tempat pengambilan bagasi, ternyata bukan milik pesawat yang saya tumpangi. Sama-sama dari Narita, tetapi pesawat lain. Saya berpindah ke sebelahnya, ternyata di sini. Tapi sayang sudah tidak berputar dan tidak ada lagi bagasi satupun di tempat itu. Saya kemudian melapor pada bagian kehilangan dan menghubungi pihak airline. Lama saya di situ menunggu proses. Oleh petugas, saya diminta untuk naik ke lantai dua dan menemui petugas Singapore Airlines yang menerbangkan saya dari Jakarta ke Singapura. Saya sempat komplain sebab yang membawa saya ke San Fransisco adalah Northwest. Tetapi saya tidak mau berdebat, karena saya pikir mungkin memang begitu aturan mainnya. Saya mengalah dan mencari petugas Singapore Airlines di lantai dua. Sebelum saya naik, saya cek sekal lagi dan mengamati satu-satu seluruh bagasi yang ada. Betapa senangnya saya, ternyata bagasi itu ada di balik pilar bandara. Dengan mengucap syukur, saya kemudian keluar bandara di ruang kedatangan. Di San Fransisco saya harus menginap semalam sebelum terbang ke Washington DC keesokan harinya. Sesuai petunjuk, Kedubes sudah booking hotel yaitu Travelodge hotel dekat bandara. Untuk menuju ke tempat menginap transit tersebut, saya kemudian menelepon pihak hotel bahwa saya sudah tiba di bandara. Hanya sekitar 20 menit menunggu, mobil jemputan tiba. Saya membayar 100 dolar AS untuk menginap semalam. Jam sudah menunjuk angka 12.00 siang waktu San Fransisco atau jam 10 malam di Bima. Setelah masuk kamar hotel dan istirahat sebentar, saya keluar untuk mencari makan siang. Tepat di samping hotel, ada restoran Jepang, Osho. Saya tidak paham dengan daftar menunya karena semua berbahasa Nipon. Saya minta bantuan pegawainya apakah ada menu nasi dan ayam. Ternyata ada. Harganya 12 dolar, ayamnya sangat banyak. Minumnya teh hijau tanpa gula, pahit. Karena banyak ayam yang lebih, saya minta dibungkus untuk dibawa pulang dan saya beli nasi satu porsi untuk dimakan di hotel. Subuh Sabtu, 28 Juli 2007 pukul 05.00 saya bangun karena harus begegas ke bandara. Tadinya, saya pikir semua urusan periksa udah selesai. Ternyata kali ini malah lebih ketat lagi. Sampai sepatu saya dibuka. Saya dimasukan dalam boks kemudian ditembak dengan cahaya dan suara yang cukup mengagetkan. Tidak cukup, ternyata masih ada secondary check. Saya disuruh berdiri di tempat yang sudah disediakan sambil menunggu giliran. Seorang wanita kulit hitam berpostur tinggi besar memanggil saya. Saya kemudian disuruh duduk sambil menyerahkan barang bawaan saya. Untung tas pakaian dimasukan ke bagasi, kalau tidak pasti diobok-obok. Tas kamera dan tas dokumen yang saya bawa, termasuk sepatu dilap dengan teliti menggunakan kertas tipis bulat berwana putih. Kertas yang dilapkan pada seluruh barang bawaan saya termasuk handycam dan kamera digital itu, dimasukan pada alat sensor. Dalam hati saya berpikir, luar biasa negara ini. Begitu teliti dan ketatnya sampai diperiksa demikian detail. Kapan Indonesia seperti ini? Jangankan di Bandara Sultan Muhammad Salahudin Bima, di bandara internasional Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta saja biasa-biasa saja. Namun demikian, masih ada satu kebanggaan pada diri saya bahwa negara kita masih dianggap aman dan 'percaya' saja tidak akan terjadi apa-apa. Dalam perjalanan ke Washington, saya harus ganti pesawat di bandara Minneapolis, Minnesotta. Kota yang kemudian populer setelah sebuah jembatan yang mengubungkan belahan sungai besar yang membelah kota itu ambruk. Banyak korban jiwa, karena ratusan mobil ikut jatuh bagai barang mainan. Dari San Fransisco ke Minneapolis butuh waktu tiga jam 31 menit. Setelah istirahat satu jam, saya kemudian boarding di pintu 4A. Beda waktu dua jam antara San Fransico dengan Minneapolis. Saya terbang lagi pukul 15.05 waktu Minneapolis atau pukul 02.05 dini hari waktu di Bima menuju Washington DC. Jarak tempuh Boeing 737-300 yang membawa saya ke ibukota negara superpower itu yaitu di bandara Washington Reagen adalah dua jam 20 menit. Saya tiba sekitar pukul 18.55 waktu Washington atau pukul 06.55 pagi di Bima. Beda satu waktu antara Washington dengan Minneapolis tiga jam dan beda 12 jam dengan Bima. Saya dijemput oleh Irawan Nugroho, prtugas yang akan menemani saya sampai pulang ke Indonesia. Sebelum ke hotel, kami sempat mencari makan malam di sebuah pusat perbelanjaan di kota Washington. Selain mencari makan, saya harus membeli alat semacam konektor cok listrik, agar hanphone saya bisa dicharger. Ada perbedaan bentuk colokan stop kontak antara Indonesia dengan AS. Mereka menggunakan cok segitiga, dua berbentuk plat dan satunya bulat. Dengan model itu, pasticok yang kita punya tidak bisa masuk. Saya harus membeli konektor penyesuai yang bagian atas ada dua lobang untuk masuknya cok kita, sedangkan di ujung lainnya, berbentuk plat. Kalau Anda pernah membeli barang elektronik tertentu, cok macam ini biasanya diselipkan. Tetapi karena tidak bisa dipakai di negara kita, biasanya kita buang begitu saja. Atau mungkin Anda pernah membeli laptop yang ujung colokan catu daya AC tidak pas dengan yang ada di rumah kita, maka perlu dibeli konektor sambungan yang bisa menyesuaikannya. Tidak ada masalah berarti sampai kami check in di hotel Jurys, hotel yang sudah dibooking untuk saya. Malamnya saya hanya tiduran di kamar, istirahat total setelah melakukan perjalanan jauh. Di hotel dengan tarif 200 dolar ini, saya menemukan masalah lain yaitu soal perbedaan waktu tidur kota di Bima dengan AS. Mestinya saat saya masuk hotel, bukannya saat tidur karena malam, tetapi jam biologis saya mengatakan subuh. Itu artinya saatnya bangun tidur, bukannya untuk berangkat tidur. Ada masalah yang kemudian disebut dengan jetlag. Saya benar-benar tidak bisa tidur walau kelelahan. Saya justru ngantuk luar biasa saat di atas pesawat. Minggu pagi, 29 Juli 2007, saya kurang fit karena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Malas di hotel, setelah sarapan roti, saya kemudian menuruti ajakan Irawan untuk berputar-putar dengan mobil pribadinya. Mestinya, hari ini saya masih harus istirahat total sebelum mulai program pada Senin, 30 Juli 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar