Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (5)

Ada yang menarik yang saya amati di kota ini. Selain sebuah avenue (jalan) yang dinamakan dengan Elvis Presley, juga kota ini menjadi miliknya Elvis. Nyaris tak ada sesuatu yang tidak terkait dengna Elvis. Souvenir, restoran, kendaraan umum, dan banyak lagi. 
Hampir semuanya dipasangi dengan gambar Elvis. Di museum Elvis, ternyata dikelola dengan baik. Ada yang menjual souvenir, ada radio Elvis, ada restoran, ada tempat berfoto, dan ada kunjungan ke rumah pribadi Elvis. Sepanjang kita memasuki area yang luasnya puluhan hektar tersebut, hanya terdengar lagu-lagu legendaris itu. Video Elvis pun dipanjang dimana-mana. Nyaris tak ada langkah yang tidak bertemu dengan gambar, foto, maupun identitas lain yang berhubungan dengan Elvis. Luar biasa. Elvis bukan hanya bermanfaat dan menjadi idola bagi banyak orang ketika masih hidup, ternyata setelah tiada pun, tetap menjadi idola dan bisa menghidupi banyak orang. Untuk lahan parkir saja, luasnya lebih sehektare. Coba bayangkan berapa banyak pemasukan jika setiap pengunjung harus membayar lima Dolar USA. Setelah puas mengamati dan mengabadikan kenangan di Kota Memphis, saya kemudian kembali ke Little Rock, sebab besok pagi sudah ditunggu oleh banyak kegiatan. Saya tentu saja harus menjaga stamina, karena kegiatan terjadwal yang harus daya ikuti cukup menyita tenaga dan pikiran. Saya saat ini tentu saja bukan hanya duta Bima, atau NTB, tetapi juga duta Indonesia. Banyak hal yang ditanyakan orang kepada saya selama kunjungan mengenai daerah saya, dan juga negeri kelahiran saya, Indonesia. Hari pertama program kunjungan di Little Rock, saya didampingi Tommy Priakos, dari Arkansas International Center University of Arkansas. Jam 09.00 kami meluncur ke stasiun televisi Fox 16, yang merupakan afiliasi dari Fox. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit ke arah barat menuju 10800 Colonel Glenn Road,kami diterima Mr Shane Deitert, News Managing Editor, Fox 16. Di gedung Clear Channel ini, ternyata ada dua stasiun televisi dan lima stasiun radio. Mereka berkantor pada building yang sama. Selain sebuah tower standing segitiga setinggi 60 meter, yang ada hanya sejumlah parabola untuk mengirim dan menerima siaran ke dan dari satelit. Di menara siar pun, tida terlihat ada model antena untuk transmisi televisi. Yang ada hanya sejumlah antena parabolic receiver microwave untuk menerima siaran lapangan dan enam elemen antena siera untuk transmisi radio FM. Setelah ditanyakan pada Shane, ternyata televisi mereka tidak menempatkan transmiternya di tempat itu, kecuali untuk Halelujah FM. ''Menara transmisi kami tida di gedung ini,'' katanya. Dia menjelaskan, di Amerika sudah sangat sedikit stasiun televisi yang memancarkan siarannya langsung ke rumah-rumah warga melalui pemancar. Mereka sudah menggunakan jasa televisi kabel atau televisi berlangganan. Perusahaan televisi kabel inilah yang menyalurkan ke pelanggannya melalui kabel atau parabola mini dengan sistem direct tv. Kalau di Indonesia misalnya ada prusahaan televisi kabel seperti Indovision, Astro, Pay to TV, maupun Telkomvision. Saya diajak mengelilingi studio siaran, ruang berita, mastercontrol, ruang redaksi, ruang arsip, ruang edting, serta ruang produksi. Shane menjelaskan secara rinci bagaimana mekanisme kerja mereka mulai dari memburu berita sampai disiarkan. Menurut dia, setiap hari mengadakan rapat redaksi minimal dua kali untuk menentukan topik berita, penugasan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan berita Fox 16 setiap hari. Yang menarik, tidak semua kru harus balik ke studio, karena mereka bisa melakukan tugasnya di atas mobil yang bisa mengirim langsung berita untuk disiarkan. ''Kami punya tiga unit kendaraan untuk liputan yang bisa langsung berhubungan dengan studio dengan gelombang microwave,'' katanya. Dari Clear Channel, kami sempatkan diri makan siang di restoran China, sebelum menuju William J Clinton Presidential Center. Di tempat ini, saya meninjau bergai koleksi yang berhubungan dengan Presiden Bill Clinton. Di sebuah taman yang asri, berdiri bangunan megah yang baru diresmikan tiga tahun lalu. Berbagai barang serta ativitas yang berhubungan dengan Clinton dipamerkan untuk umum. Untuk masuk ke gedung ini, kita harus membayar $7,00. Mulai dari rekaman video selama Clinton menjadi presiden, foto-foto serta barang milik pribadi Clinton dan istrinya Hillary, dipamerkan di tempat ini. Ada ruang kerja, tempat rapat kabinet, mobil dinas kepresidenan, juga film dokumenter tentang Clinton sejak dari masa kanak-kanak hingga berhenti menjadi presiden, diputar untuk pengunjung. Video kegiatan mantan gubenur negara bagian Arkansas yang menurut warga setempat sangat sederhana itu, diputar secara otomatis dan dengan durasi yang berbeda-beda di setiap sudut. Ada yang menggunakan layar proyektor, layar plasma, bahkan ada juga dengan layar biasa. Untuk mengetahui sejarah, Anda juga secara sendiri-sendiri bisa memutar video atau membaca dokumen di layar komputer dengan cara menyentuh instrumen pilihan yang ada di layar. Satu hal yang perlu kita belajar adalah bagaimana lengkapnya dokumen pendukung untuk berdirinyaa sebuah presidential center. Mulai dari teknologi hingga dokumen, semuanya memilik peran yang sangat strategis. Saya kemudian membayangkan jika suatu saat di Bima ada tempat semacam ini. Bisa Nur Latif center, Zainul Center atau Ferry center. Yang saya sebut terakhir memang sempat populer di Bima saat Pilkada langsung 2005 lalu. Tetapi yang saya maksudkan tentu saja bukan yang ini, tetapi sebuah pusat dokumentasi seorang pemimpin yang bisa dilihat dan dipelajari oleh generasi berikutnya. Tanpa ada semacam upaya mengkultuskan seseorang, bagi rakyat Amerika, menghargai setiap pekerjaan orang adalah sesuatu yang perlu. Apalagi bagi seorang sosok seperti Clinton. Ada yang menarik dalam kunjungan di tempat ini. Pada sebuah sudut di lanantai dua, ditayangkan hal-hal lucu yang dilakukan Clinton selama berada di white house. Puluhan masyarakat yang datang ke tempat itu terpingkal-pingkal tertawa menyaksikan video tersebut. Misalnya ketika sejumlah orang datang dan ingin foto dengan gambar Clinton, diapun datang ingin berfoto dengan gambar dirinya. Dia juga sering mencuci mobil sendiri, menyiram taman, latihan pidato depan cermin, memsak, bahkan ketika dia kesulitan mengeluarkan air minum kaleng yang harus menggunakan koin atau uang kertas dolar. Karena kesulitan, Clinton akhirnya menendang boks minuman dan beberapa kaleng pun terjatuh. Di lain waktu, ketika melihat staf kesulitan seperti yang dia alami, diapun dengan enteng menendang boks itu. Apa yang bisa saya tangkap dari tayangan-tayangan itu, adalah bahwa seorang pemimpin sebuah negara yang besar, negara adikuasa, tetap saja seorang manusia biasa. Seorang manusia yang juga punya keinginan dan perilaku normal seperti rakyat kebanyakan, tanpa harus selalu terikat dengan aturan dan protokoler gedung putih. Clinton lahir dan besar di Little Rock, Arkansas, sehingga presidential center dibangun di tempat itu. Para pekerja di dalamnya, rata-rata avonturir yang tidak digaji. Clinton sangat dihargai dan menjadi idola bukan hanya di Little Rock, tetapi juga di seluruh Amerika. Namanya pun, diabadikan pada sejumlah jalan di negara-negara bagian. Namun demikian, ada juga warga Amerika yang tidak terlalu suka dengan keputusan-keputusannya yang terlalu turut campur urusan dengan negara lain. Setelah puas mengelilingi museum Clinton, Tommy, kemudian mengajak saya ke radio komunitas yang dikelola kampus Arkansas State University. Di radio ini, saya banyak mendiskusikan masa depan dan cara mengelola radio. Kendati Bima FM yang saya kelola dengan radio kampus itu beda, tetapi berita di radio AS sudah sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Minat baca koran dan nonton TV yang berkurang karena warga AS sudah menambah jam kerjanya, secara otomatis informasi hanya bisa diperoleh melalui siaran radio. Jadi, jangan heran kalau hampir setiap warga di AS memasang earphone di telinga mereka untuk memonitor radio. Di Little Rock, saya juga berkesempatan untuk bertemu dengan pengelola Islamic Center of Little Rock dan Islamic Center fo Human Excelence. Saya juga bertemu dengan pengelola sebuah sekolah Islam yaitu Huda Academy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar