Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (8)


Surat tersebut ditandatangani oleh Karen Nossiter, program officer IIE. Selain bahan-bahan panduan, saya juga menerima jadwal kegiatan yang harus saya laksanakan sampai saya meninggalkan Indonesia dari negara bagian di pantai barat AS ini. Pada Kamis pagi pukul 09.30, saya sudah harus bertemu dengan Prof Peter Phillips, Director Project Cencored, Sonoma State University. Kami butuh waktu sekitar satu setengah jam perjalanan dengan mobil yang sudah disewakan di Leave Avis, untuk menuju Rohnert Park, tempat Univeritas Sonoma berada. Karena pemandu saya tidak terbiasa di San Fransisco, sementara penyelenggara di negara bagian ini hanya melampirkan semacam directions to appointments (lengkap dengan maps), ada gambar yang tidak pas ketika kami harus mengikuti Broadway Street. Tetapi berkat pengalaman, Pak Irawan mampu mengatasi hal itu, kendati sempat stress. Saya bahkan sempat menjadi pembaca peta alias navigator, agar bisa sampai ke tempat tujuan tepat waktu. Cuma memang kecemasannya itu, tidak ditampakkan Pak Irawan. Dalam perjalanan menuju Universitas Sonoma ini, saya agak sedikit kaget ketika tiba-tiba di pagi yang masih diselimuti kabut itu (walau sudah pukul 09.10), samar-samar terlihat Golden Gate Bridge. Spontan saya berteriak, ‘’wah itu jembatannya. Sekali jalan bisa lihat jembatan golden gate nih, tanpa harus balik lagi,’’ kata saya kepada Pak Irawan yang hanya tersenyum. Karena di hotel belum sempat sarapan, kami kemudian memilih membeli kentang dan roti pada sebuah restoran di Napa. Karena tidak ingin telat, Pak Irawan meminta kepada saya untuk makan di mobil saja, sambil memacu kendaraan menuju tempat mengajarnya Prof Peter Phillips. BISA jadi, bertemu dengan Prof Peter Phillips adalah sesi paling menarik dalam perjalanan saya. Begitu bertemu dengan sosok bongsor berpenampilan sederhana ini, saya langsung tertarik. Hangat, cerdas, serius, adalah kesimpulan yang bisa saya ambil setelah berkenalan dengan Phillips. Setelah bertemu di ruang kerjanya, Project Censored, Sonoma State University di ruangan 2084, saya diajak turun untuk ke kafe kampus. ‘’Kita ngobrol di halaman saja sambil minum kopi,’’ katanya. Sepanjang lorong dan lift, dia sempat bercerita kalau sudah memperoleh informasi lengkap tentang diri saya, melalui e-mail yang dikirim oleh Institute of International Edacatiun (IIE), lembaga yang menangani perjalanan saya di California. Dia mengaku sangat tertarik untuk mengobrol banyak tentang saya, terutama soal sensor media, karena diketahuinya saya adalah seorang wartawan di Indonesia. ‘’Anda juga beruntung karena selain sebagai wartawan, Anda juga memiliki perusahaannya,’’ katanya. Kata yang terakhir agak ditekan Phillips karena fokus penelitian dia adalah berita-berita yang sengaja disensor media sendiri padahal sudah ditulis wartawannya, karena ada hubungan-hubungan yang tidak sehat dengan pemerintah. Saya tegaskan, di media yang saya pimpin tidak pernah menyensor berita. Jika sudah didukung data yang cukup dan memenuhi unsur dan kriteria serta kode etik jurnalistik, beritanya pati akan dimuat. Saya tegaskan, saya hanya menghindari berita fitnah tanpa fakta. Soal tuntutan, itu risiko. Yang penting buat saya adalah beritanya sudah memenuhi unsur dan rel kode etik jurnalistik. Saya tegaskan, saya tidak pernah menyensor berita dari manapun sumbernya, asal memang bisa dipertanggungjawabkan. Saya tidak akan menurunkan berita yang hanya saling menuduh dan saling curiga. Jika narasumber memberikan data dan bisa dipertanggungjawabkan, pasti akan dimuat. Cuma memang karena kendala SDM, saya akui kerap lolos berita-berita yang kadang dimuat media lain. Tetapi yang pasti, bukannya sengaja tidak diturunkan karena ada kepentingan-kepentingan tertentu. Saya juga bercerita, sebagai chief editor (pemimpin redaksi), saya tidak terlalu dekat dengan pejabat manapun, untuk membuat komitmen apapun. Phillips kemudian bercerita tentang kondisi negaranya. Di sini baru terjawab bahwa menurut saya, pemerintah AS cukup fair untuk mengatur perjalanan saya ini. Artinya, tidak semua figur atau sosok yang dipertemukan dengan saya adalah orang-orang yang sejalan dengan kebijakan pemerintah. Phillips adalah salah satu yang paling kritis. Bahkan saking kritisnya, dia menulis dan menebitkan sebuah buku tentang Empeach President. ‘’Bush dan Cheney (presiden dan wakil presiden AS) harus di-impeach karena terlalu banyak mengurusi masalah dalam negeri negera lain,’’ kantanya ketika saya bertanya tentang keterlibatan AS dalam perang Irak. ‘’Sebagai warga Amerika, saya malu,’’ tambahnya lagi. Dalam buku berjudul Censored Media Democracy in Action, Phillips banyak mengungkapkan hasil investigasi tentang rekayasa pemerintahnya terhadap perang di Irak serta kasus-kasus besar lainnya. Saya beruntung, memperoleh buku dan ditandatanganinya untuk saya itu. ‘’Pastinya, kalau kita berbicara tentang politik dan kondisi politik serta pemerintahan di AS, kita butuh waktu yang panjang,’’ katanya. Pertemuan kami memang hanya satu setengah jam. Tidak cukup untuk memperoleh informasi lengkap soal AS, padahal bertemu dengan orang hebat macam Prof Phillips, bagi saya, mungkin hanya sekali seumur hidup. ‘’Tapi kita masih bisa berhubungan melalui e-mail,’’ ujarnya sambil menjabat erat tangan saya saat berpisah setelah saya mengalunkan selendang tenun khas Bima kepadanya. Dia senang sekali, apalagi setelah saya sampaikan kalau kain itu merupakan tenunan tradisional menggunakan alat tenun bukan mesin dan hand made. Profesor Peter Phillips adalah guru besar Sonoma State University, Dr dan Ph.d yang mengajar Media Censoreship, Sociology of Power, Political Sociology and Sociology of Media. Dia melakukan investigasi sensor media bersama puluhan relawan lainnya. Lalu bagaimana sikap pemerintah terhadap tudingan seperti itu, saya sebetulnya sudah lebih dahulu bertemu dengan Ethan Glick, Indonesia Desk Officer, U.S Department of State di Washington DC, pada 1 Agustus 2007. Sebagian dari masalah yang ditulis Phillips dalam bukunya, sudah sempat saya tanyakan. Glick memberikan banyak pandangan dan kebijakan negaranya kepada saya dalam overview yang berlangsung satu setengah jam. Glick mengatakan, AS mempunyai kepentingan yang sangat besar terhadap keamanan global. Sebab hanya dengan keamanan yang terjaga, setiap negara bisa membangun ekonomi, politik dan demokrasi. ''Tidak mungkin akan terbangun politik dan demokrasi yang baik jika masyarakat secara ekonomi masih miskin,'' katanya. Menurut dia, salah satu syarat untuk pembangunan ekonomi, adalah terciptanya keamanan yang baik. Untuk kondisi global seperti sekarang ini, kekacauan pada sebuah negara akan berdampak pada negara lainnya, termasuk AS. Menjawab pertanyaan saya mengapa AS terkesan terlalu campur tangan dengan urusan dalam negeri negara lain, Glick dengan diplomatis berujar, karena memang pemerintahnya peduli. ‘’Mestinya kan bukan hanya pemerintah AS saja yang peduli, tetapi juga negara-negara lain,’’ tambah Glick. Dia mencontohkan betapa pentingnya keamanan di Selat Malaka. Selat Malaka, dalam pandangan AS bukan hanya milik Indonesia di mana keamanannya hanya menjadi tanggungjawab Indonesia, tetapi juga harus menjadi tanggungjawab semua negara. Kepentingan banyak negara di Selat Malaka harus menjadi prioritas perhatian, mengingat tempat itu menjadi pintu bagi angkutan laut dalam perdagangan global. ‘’Kalau selat itu tidak terjamin keamanannya dan jatuh pada perompak atau teroris, maka kepentingan perdagangan global akan terganggu,'' ujar Glick. Ditanya tentang pandangan masyarakat AS jika ditanya tentang Indonesia, menurutnya pasti akan berpikir soal teroris. Padahal diakui Glick, teroris bukanlah mayoritas dilakukan oleh orang Indonesia. Namun demikian, Glick optimis Indonesia akan menjadi negara yang maju dan diperhitungkan baik di tingkat Asean maupun dunia. Peran Indonesia akan semakin strategis dalam banyak aspek, terutama di Timur Tengah. Sebagai anggota PBB, Indonesia punya peran penting dan bisa lebih terus tingkatkan lagi di masa-masa yang akan datang. ‘’Saya harap Indonesia akan menjadi leader di negara-negara Aean, walau belakangan ada penurunan soal itu,’’ tambahnya. Berbicara soal Iraq, mengapa AS berkorban demikian besar, Glick lagi-lagi berujar karena negaranya peduli. ''Sebagai pejabat pemerintang AS, saya katakan karena memang kami (AS) peduli untuk keamanan global,'' tandasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar