Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (7)

Gaya arsitekturnya masih mempertahankan model rumah asli suku Indian. Tetapi setelah masuk, ternyata ditata secara modern, ber AC, dan peralatan serba luks. Di lokasi ini juga tersedia sebuah restoran yang menyediakan aneka menu masakan Meksiko, dan kami kemudian ikut makan siang di tempat itu. Usai makan siang, perjalanan tur kami lanjutkan ke Santa Clara, sebuah tempat sekitar dua jam perjalanan dari kota Albuquerque. 
 
Kami bahkan melewati kota Santa Fe, yang merupakan ibukota New Mexico. Saya diajak untuk menyaksikan acara tahunan suku Indian Peblo yang sedang merayakan hari Santa Clara yang jatuh pada setiap 12 Agustus. Saya merasa sungguh beruntung karena dalam perjalanan ini, dapat menyaksikan aneka keragaman budaya, yang selama ini hanya saya saksikan dalam tayangan televise saja. Sayang, acara sakral yang dimulai sejak pagi itu, tidak boleh diambil gambarnya baik dengan kamera foto maupun video. Jadi kami, dan ribuan wisatawan yang hadir di tempat itu hanya bisa menyaksikan tanpa bisa mengabadikannya. Hari di atas Santa Clara mendung. Sekitar satu jam saya menyaksikan acara itu, hujan tiba-tiba mengguyur. Wisatawan pun berhamburan, termasuk saya. Kami kemudian memutuskan kembali. Dalam perjalanan pulang, Carmen menawarkan kepada kami untuk mampir di kota tua Santa Fe, yang merupakan ibukota negara bagian New Mexico. ‘’Tidak lengkap kalau kita tidak mampir,’’ katanya berpromosi. Banyak hal yang dapat saya saksikan di kota ini. Termasuk salah satunya adalah hotel tertua yang berdiri sejak 1610. Hotel ini masih mempertahankan keaslian luarnya, tetapi di bagian dalam sudah diubah dan ditata secara modern. Hotel yang bernama La Fonda itu, ternyata selain untuk menginap, juga sudah menjadi salah satu obyek wisata. Jadi jangan heran, banyak wisatawan berseliweran di dalam hotel yang cukup luas tersebut. Dari luar terlihat seperti tanah liat yang tidak berbentuk, dan merupakan bentuk aslinya. Rata-rata bangunan di New Mexico, memang seperti itu, karena menggambarkan keaslian suku Indian yang ternyata mendominasi jumlah penduduk di New Mexico. Foto-foto La Fonda lama, masih tersimpan rapid an dipajang di dinding. Puas menyaksikan banyak peninggalan sejarah di Santa Fe, kami kemudian kembali ke kota Albuquerque. Pada 13 Agustus 2007, hari yang melelahkan dalam kunjungan di kota ini dimulai. Hampir tak ada waktu untuk sekadar melepas lelah, karena oadatnya kegiatan yang sudah terjadwal. Mulai pukul 10.00, saya meeting dengan pengelola radio di Citadel Radio. Perusahaan mengelola enam stasiun radio yang menggunakan satu building (bangunan kantor). Setelah meninjau kegiatan dan aktifitas studio radio bersama Mr Mike Langner, kami kemudian melanjutkan perjalanan ke Universitas New Mexico untuk bertemu dengan Richard Schaefer, Communication and Journalism Dept. Banyak hal yang kami perbincangkan soal teknologi komunikasi dan jurnalistik. Mantan wartawan sebuah televise ini, mengaku bergabung dengan Universitas New Mexico sejak enam tahun lalu. Hingga saat ini, telah banyak melahirkan jurnalis yang sudah bekerja pada sejumlah media yang ada di AS. ‘’Saya sudah tidak tahu lagi jumlahnya, mereka sudah bekerja di banyak media di AS,’’ jelasnya. Selain bercerita tentang riwayat karir dan pekerjaannya, Schaefer juga banyak bertanya tentang pengalaman, keluarga dan negara saya. Saya banyak bercerita soal Bima, NTB, juga Indonesia. Dia begitu antusias mendengarkan cerita dan pengalaman saya, termasuk potensai daerah. ‘’Saya berharap suatu saat bisa dating ke negara Anda,’’ ujarnya. Setelah makan siang, kami kemudian menuju kantor redaksi dan percetakan Albuquerque Journal. Koran harian ini merupakan media cetak terbesar di New Mexico dengan tirasnya per hari mencapai lebih dari 126 ribu eksemplar. Saya sempat menyaksikan percetakannya yang sangat modern dan besar di bagian belakang redaksi. Demikian pula dengan ruang redaksi, produksi dan periklanan. Saya kemudian berjumpa dengan Managing Editor kotran ini, Karen Moses. Dia menjelaskan, selain menerbitkan Albuquerque sebagi induk, yang terbit harian pada pagi hari, juga diterbitkan Koran harian yang terbit sore hari dan banyak Koran local di sejumlah tempat. ‘’Semuanya kami terbitkan di sini,’’ katanya. Moses mengaku bergabung dengan media itu sejak enam tahun silam. Karirnya terus menanjak dan menjadi managing editor pada saat ini. Dia menjelaskan, pemilik perusahaan tidak pernah ikut campur urusan redaksi. Dan tugas besar yang saat ini sedang dia jalankan adalah sedang melakukan investigasi terhadap gubernur New Mexico yang berencana menjadi calon presiden AS tahun depan. Usai bertemu dengan Moses, perjalanan kami lanjutkan ke sebuah pusat Casino dan hotel terbesar di Sandia, arah utara kota. Kami diterima Ashley yang mengantarkan untuk melihat kamar terbesar dan termahal yang dimiliki hotel Sandia ini. ‘’Tarifnya dua ribu dollar semalam,’’ katanya. Jumlah tarif itu kalau dikurs dengan rupiah misalnya Rp9000 per dollar, maka tarifnya menjadi sekitar Rp18 juta semalam. Adakah yang menginap di tempat ini? Atau mungkin Anda pingin mencobanya? Kamarnya sangat luas, demikian pula dengan kamar mandi dan ruang tamu. Bahkan ada pub juga di dalamnya. Dua ruang tidur dan dua kamar mandi. Ada tiga televisi plasma berukiuran 42 inchi yang di pajang pada masing tempat tidur dan ruang tamu. Di kamar mandi pun, selain Anda bisa menerima telepon saat mandi, juga bisa sambil menikmati siaran televise. Ada speaker aktif dan poewer audio yang dipasang di ruang tamu. Bagi saya, inilah kamar hotel terbesar, termewah, dan termahal yang pernah saya saksikan. Bukan saya rasakan. Saya berseloroh pada Ashley, kalau saya menginap di tempat itu, mungkin semalaman tidak akan tidur untuk menikmati fasilitas yang Rp18 juta itu. Saya pikir, rasanya kalau saya tidur, pastilah saya rugi. Tanpa mimpi, tiba-tiba pagi dan siangnya saya sudah harus check out. Bukan hanya kamar mahal yang disediakan Sandia Hotel. Ada juga kamar standar yang harganya di bawah dua ratus dolar atau lebih murah dari hotel Jurys tempat saya menginap di Washington DC selama delapan hari kunjungan di ibukota AS itu. Di hotel ini sangat ramai dikunjungi orang yang berjudi kasino. Di lantai bawah (loby) ribuan alat putar nasib itu sedang dimainkan oleh penikmat judi. Saya sempat melihat seorang nenek yang didampingi suaminya ikut bermain kasino. Tangannya yang sudah renta, terlihat gemetar membuka dompet untuk mengambil lembaran dolarnya untuk dipertaruhkan di tempat itu. Selain kasino, jenis judi lainnya pun tersedia. Hampir tidak ada tempat yang kosong di tempat perjudian terbesar di New Mexico itu. Saya sungguh mengagumi kesungguhan dan stamina Carmen memandu perjalanan saya. Kendati umurnya sudah renta dan jalannya pun tertatih-tatih, dia masih sempat mengajak saya untuk menikmati pemandangan gunung dengan menaiki tram di Sandia Peak. Bagi saya, ini pengalaman pertama yang juga sangat menegangkan. Bayangkan, kita harus naik sebuah kereta gantung yang bergerak naik pada ketinggian lebih dari sepuluh ribu kaki sampai puncak pegunungan Sandia. Gunung ini memang sejak awal sudal mengundang perhatian saya, karena hampir semua transmitter televisi dan radio di New Mexico menempatkan towernya di atas gunung ini. Butuh waktu sebelas menit saat naik baru bisa sampai puncak. Saya terkagum-kagum dengan pemandangannya yang indah, kendati agak gersang. Setiap orang dewasa, harus membayar $17,00 untuk bisa ikut naik. Saya merasa agak takut ketinggian pada saat naik trem ini. Bahkan saya sempat berpikir, bagaimana kalau rel atau kawat trem yang demikian tinggi ini putus, maka tak ada harapan lagi untuk bisa hidup. Apalagi gunung itu penuh dengan bebatuan. Luar biasa. Semua bisa mendatangkan uang. SETELAH istirahat semalam karena lelah mengeksploitasi New Mexico dan meeting pada Senin, Selasa pagi saya sudah ditunggu sejumlah program. Untuk menyelesaikan seluruh program di Albequerque, pagi pukul 08.50, saya sudah meninggalkan hotel Sheraton untuk bertemu dengan Sara Gracia, Redaktur senior El Hispano News. Seperti kebiasaan masyarakat AS umumnya, janji harus benar-benar tepat waktu. Kita tidak boleh ngaret seperti kebiasaan kita di Bima misalnya. Kita tahu, di daerah kita ini rasanya kalau tidak telat, rasanya kurang afdol. Padahal kebiasaan ini sangat menyita banyak waktu orang lain yang kita undang, atau kita sendiri yang mungkin masih punya keperluan lain. Acara di daerah kita rasanya kurang afdol kalau tidak dihadiri pejabat. Kita bahkan rela menunggu sampai berjam-jam tanpa kepastian, hanya agar acara menjadi berkesan ada nilainya dengan kehadiran seorang pejabat. Tentu akan lebih bergengsi lagi, kalau yang hadir Bupati atauWalikota. Tetapi model seperti ini, tidak dikenal di AS. Waktu bagi mereka adalah barang yang sangat berharga. Kalau Anda bikin appointment, pukul 10.00 pagi, lebih baik sudah ada di tempat acara sebelum jam 10.00. Ini sangat penting, karena jika tidak, Anda bisa saja ditinggalkan.Acara bisa saja batal. Kebiasaan ngaret ini, mestinya harus segera diubah agar kita bisa lebih menghargai waktu. Kembali ke agenda saya, dalam pertemuan dengan Garcia, selain menceritakan pengelolaan koran lokal yang berbahasa Spanyol itu, kami juga sempat bercanda karena ternyata ada beberapa kata dalam bahasa Spanyol yang sama dengan bahasa Indonesia. Misalnya, meja dalam bahasa Spanyol disebut meza, baju kemeja disebut kemeza, sepatu disebut sapatu, baju blus juga disebut blus. Saya juga jadi teringat dengan istilah pada klimatolgi yang dikenal dengan La Nina dan Elnino. Dua bahasa kata ini juga berasal dari bahasa Spanyol, yang mirip juga dengan bahasa Bima. Saya jadi teringat ketika pertama menginjakkan kaki di kota Albuquerque. Saya menyetel sebuah stasiun radio FM berbahasa Spanyol, 103.1 MHz, saya sangat senang dengan irama musiknya. Saya jadi teringat dengan tanah air ketika mendengar lagu-lagunya Rinto Harahap, Pance Pondaag atau Meriam Bellinna. Sangat familiar. Kepada nenek Carmen, saya sempat bertanya di mana saya bisa memperoleh CD lagu-lagu Spanyol yang diputar di radio yang saya baru dengar itu. Dia berjanji akan mengusahakannya. Bahkan ketika saya berkunjung ke radio Citadel, saya sampaikan hal itu. Sayang, sampai saya meninggalkan radio, saya lupa dengan lagu-lagu itu, sampai akhirnya saya meninggalkan Albuquerque. Padahal saya ingin sekali memperdengarkan kepada pembaca dan pendengar Bima FM, bagaimana asyiknya mendengar lagu-lagu Spanyol yang berirama pop itu. Dengan Garcia di kantor redaksi El Hispano News, selain bercerita tentang perjalanan media yang terbit mingguan itu, dia juga banyak bertanya kepada saya tentang media saya, daerah saya, dan juga negara saya. Dia sangat tertarik, apalagi menurut pengakuannya, saya adalah orang Indonesia pertama yang berkunjung ke redaksi media yang dibangun puluhan tahun lalu itu. Dia sangat kaget dan terkagum-kagum dengan harian BimaEkspres yang saya akui terbit harian. ‘’Kami tidak bisa terbit harian, kecuali ijinnya harus diajukan ulang,’’ katanya. Usai bertemu Garcia, saya harus segera ke KOAT 7, sebuah stasiun televisi terbesar di kota ini. Selain diterima Ms Wynn Wood., Managing Editor, juga diterima Bill Case, Research Direktor KOAT 7. Keduanya silih berganti menjelaskan bagaimana kondisi bisnis dan redaksi televisi yang mereka kelolala. KOAT adalah afiliasi dari Channel 7, salah satu news television yang ada di AS. Beritanya sangat diminati, bahkan bisa lebih populer dari CNN. Ada pengakuan sejumlah warga yang saya tanyakan tentang siaran CNN, mereka mengakui stasiun televisi berita itu tidak terlalu diminati. ‘’Beritanya terlalu banyak yang membela kepentingan pemerintah,’’ kata Muhammad Mahzar. Stasiun KOAT ini, acara andalannya juga berita. Bahkan untuk menjaga kecepatan berita, mereka memiliki sebuah helicopter yang bisa melaporkan langsung ke pemirsanya tentang kejadian terkini. ‘’Apakah stasiun televisi Anda (maksudnya Bima TV) juga punya helikopter untuk meliput?,’’ tanya Wilder. Saya hanya tersenyum. Di Indonesia memang jarang sekali stasiun televisi yang meliput dengan menggunakan fasilitas helikopter. Setelah meeting sekitar satu jam, acara kemudian dilanjutkan dengan meninjau ruang master control, ruang berita, ruang redaksi, ruang produksi, juga sempat diajak untuk melihat helicopter redaksi yang kebetulan sedang diparkir di heliped, halaman kantor. Selain menjelaskan sisi luar, saya juga diajak naik dan diberikan penjelasan mengenai fungsi panel-panel yang mendukung siaran langsung dari udara. Helikopter tersebut dilengkapi dengan kamera besar yang dipasang permanen di sisi kanan, yang bisa dikendalikan dari dalam kabin heli. Remot pengendali semua ada di dalam baik untuk mengarahkan maupun untuk zoom. Selain kamera utama untuk merekam dan menyiarkan obyek berita, juga dilengkapi dengan dua kamera mini. Yang satu dipasang di ekor untuk mengambil gambar badan pesawat yang sesekali dipancarkan ke pemirsa untuk menguatkan kesan kalau liputan itu memang langsung disampaikan dari udara. Demikian pula dengan kamera menengah yang dipasang depan pilot yang bisa mengambil gambar reporter dan pilot yang sedang siaran dari udara. Di kabin, duduk seorang kru yang bertindak sebagai juru kamera dan yang bertugas sebagai master control untuk mengatur gambar yang dipancarkan. Di heli juga dipasang pemancar mini microwave yang menggunakan antenna jenis opendipole yang dibungkus dan bisa memancar ke segala sisi. Sinyal ini, diterima dengan receiver dan antenna parabolic yang bisa diarahkan ke posisi heli berada. Sistem ini sebetulnya tidak asing bagi saya. Sebab sejak setahun terakhir, saya senidiri sudah melakukan ujicoba menggunakan transmitter berkekuatan rendah ini untuk mengirim gambar dari luar studio ke studio saat siaran langsung misalnya. Saya pernah ujicoba dari Donggo ke studio Penaraga dan dari studio Penaraga ke Doro Nae. Hasilnya sangat bagus, kendati perangkat yang saya gunakan tidak semahal milik KOAT 7. Saya kemudian membayangkan, jika saja ada dukungan dari pemerintah Kabupaten Bima, akan sangat memungkinkan Bima TV ditonton secara merata ke seluruh wilayah Kabupaten Bima. Ini juga bisa menjawab banyak pertanyaan masyarakat Kabupaten Bima, kapan siaran televisi lokal milik masyarakat Bima ini, bisa mereka tonton di Woha, Monta, Lambu, Sape, Wera dan kecamatan lainnya. Tapi sayang, sejauh ini Pemkab belum tertarik sama sekali untuk membantu memenuhi keinginan warganya memperoleh informasi secara bebas dan gratis dari Bima TV. Jadi jika ada anggapan Bima TV hanya milik masyarakat kota Bima saja, itu tidak benar. Yang benar adalah kami belum memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menjawab kebutuhan masyarakat Kabupaten Bima itu. Bantuan pemerintah, adalah salah satu jalan keluar, seperti juga dilakukan oleh banyak pemerintah di daerah lain di negeri ini. Usai menggali banyak informasi di KOAT 7, saya kemudian menuju Quote/Unquote, sebuah stasiun televisi komunitas. Uniknya, stasiun televisi yang dikelola masyarakat ini, setiap orang bisa saja datang untuk siaran. Tidak ada ketentuan apapun, kecuali komitmen bersama. Jika Anda datang ke studio TV ini dan mau coba-coba siaran, Anda akan diberikan kesempatan. Bagaimana perangkatnya? Master control yang mereka punya, persis seperti miliknya Bima TV. Tetapi masih lebih modern milik Bima TV.Cuma memang Bima TV kalah dalam kepemilikan kamera dan studio untuk siaran langsung. Mereka ternyata lebih lengkap, padahal pembiayaannya tergantung pada donatur. Saya kemudian berpikir, siapa ya, yang mau menjadi donatur untuk Bima TV? Sejauh ini kami hanya menerima kritikan, tapi belum ada yang bertanya kepada saya sebagai pengelola Bima TV, apa yang bisa mereka bantu. Tetapi saya tidak akan berkecil hati untuk membangun stasiun televisi ini, kendati tantangannya tidak kecil. Usai meeting dan tur dengan Steve Ranieri, Executive Director yang didampingi Collen Gorman, Information Services, stasiun televisi ini, saya kemudian melanjutkan meeting dengan Margarita Wilder, di Entrevision. Acara terakhir di kota Albuquerque, saya sudah ditunggu keluarga Ali Ghoreishi, warga AS keturunan Iran. Dia mengundang saya pada acara dinner hospitality. Saya di kediaman Ali merasa menjadi bintang karena sangat diistimewakan. Di rumah Ali, saya benar-benar merasakan bagaimana perut saya dipuaskan dengan daging kambing yang dipotong besar-besar. Saya hanya sedikit makan nasi di rumah pemilik 800 ekor sapi perah yang digembalakan pada lahan peternakannya seluas 100 hektare itu. Acara yang dimulai pukul 17.00 itu, baru berakhir pada pukul 21.00. Selain makanan pokok, kami juga disuguhi aneka buah, sayur dan minuman. Saya kagum pada sejumlah tamu lain yang turut menghadiri acara dinner itu, yang mampu makan banyak. Berbagai hidangan, mereka habiskan. Ternyata porsi makan mereka jauh lebih besar dari porsi rata-rata perut kita orang Asia. Ada kejutan di rumah Ali. Ternyata malam itu juga, dia sedang merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang ke 40. Saya kemudian mengalungkan selendang Bima kepada suami istri yang sedang berbahagia ini. Usai acara, saya kembali ke hotel untuk istirahat. Sebab besok pagi, saya harus sudah siap untuk terbang ke Los Angeles dan San Fransico. Saya harus mengakhiri acara di negara bagian California ini hingga 17 Agustus 2007, sebelum saya tinggalkan AS pada 18 Agustus 2007. Pagi-pagi, 15 Agustus 2007, Carmen muncul di lobi hotel. Dia ingin melepas saya. Dia memeluk saya erat sekali. Dia tampak sedih karena selama mendampingi saya, dia sangat akrab dengan saya. ‘’Saya harap Khairudin (satu-satunya orang AS yang memanggil saya Khairudin, sebab yang lainnya memanggil saya dengan Ali, nama orang tua saya) bisa balik ke sini (Albuquerque) lagi,’’ katanya. Carmen memeluk saya lama dan erat sekali. Saya jadi ikut sedih. Dia kemudian mengantar saya dan baru hilang dari pandangan setelah mobil yang saya tumpangi berlalu. Sesaat sebelum berpisah, dia mengingatkan saya untuk mengirimkan resep aneka masakan Bima dan Indonesia, untuk diterbitkan dalam buku resep masakan di negara bagian New Mexico. ‘’Kami ingin menerbitkan resep masakan dari negara-negara yang pernah mengunjungi Albuquerque,’’ katanya. USAI acara, saya kembali ke hotel untuk istirahat. Sebab besok pagi, saya harus sudah siap untuk terbang ke Los Angeles dan San Fransico. Saya harus mengakhiri acara di negara bagian California ini hingga 17 Agustus 2007, sebelum saya tinggalkan AS pada 18 Agustus 2007. Pagi-pagi, 15 Agustus 2007, Carmen muncul di lobi hotel. Dia ingin melepas saya. Dia memeluk saya erat sekali. Dia tampak sedih karena selama mendampingi saya, dia sangat akrab dengan saya. ‘’Saya harap Khairudin (satu-satunya orang AS yang memanggil saya Khairudin, sebab yang lainnya memanggil saya dengan Ali, nama orang tua saya) bisa balik ke sini (Albuquerque) lagi,’’ katanya. Carmen menjanjikan kepada saya, jika ada kesempatan kembali ke Albuquerque, akan disediakan tempat menginap gratis selama satu pekan. ‘’Saya benar-benar berharap bisa datang berlibur bersama keluarga di New Mexico, kita akan jalan-jalan lagi. Salam cium buat si kecil Afa dan istri Anda,’’ ujarnya. Carmen memeluk saya lama dan erat sekali. Saya jadi ikut sedih. Dia kemudian mengantar saya dan baru hilang dari pandangan setelah mobil yang saya tumpangi berbelok di perempatan menuju bandara nasional Albuquerque. Sesaat sebelum berpisah, dia mengingatkan saya untuk mengirimkan resep aneka masakan Bima dan Indonesia, untuk diterbitkan dalam buku resep masakan di negara bagian New Mexico. ‘’Kami ingin menerbitkan resep masakan dari negara-negara yang pernah mengunjungi Albuquerque,’’ katanya. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Los Angeles dan San Fransisco dengan pesawat American Airlines nomor penerbangan AA 6472, untuk menjalankan program terakhir di negara bagian ini sebelum kembali ke Indonesia. Saya boarding sekitar pukul 11.51. Penerbangan ke Los Angeles dari bandara Albuquerque, butuh waktu sekitar dua jam 20 menit. Saya istirahat sekitar satu jam, perjalanan dilanjutkan ke San Fransisco yang hanya butuh waktu sekitar 40 menit. Pesawat yang saya tumpangi terbang menyisir pantai barat AS dan mendarat mulus di Bandara San Fransisco sekitar pukul 16.00. Ada perbedaan waktu satu jam antara Albuquerque dengan San Fransisco. Begitu mendarat, saya merasakan ada yang beda dengan sejumlah negara bagian lainnya yang saya kunjungi. Kendati matahari menyinari kota ini, tetapi udaranya sejuk bahkan menurut saya lumayan dingin. Bahkan pada malam hari, kalau tidak mengenakan jaket, udaranya dingin menyengat. Problem bibir saya yang pecah-pecah dan wajah saya yang kelupas karena bedanya suhu antar negara bagian, sedikit agak sembuh di kota ini. Wajah saya tidak lagi terlalu merah-merah. Demikian pula dengan bibir saya tidak lagi pecah-pecah. Sebab perbedaan suhu ruangan dengan udara di luar, tidak terlampau ekstrim. Setelah check ini di Hotel Cartwright di 524 Sutter Street, pusat kota San Fransisco, saya menerima map berisi maps, VCD, brosur, buku-buku dan sepucuk surat dari Institut of Iternational Education (IIE), lembaga yang menangani perjalanan saya di California.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar