Sabtu, 23 Oktober 2010

Catatan Perjalanan ke Enam Negara Bagian Amerika Serikat (9)

Saya sempat bertanya banyak hal, termasuk upaya AS membangun komunikasi dengan negara-negara Islam soal sikap mereka dan imej negara-negara Islam terhadap sikap mereka. Dia mengakui itu memang tidak mudah, sebab di kalangan negara-negara Islam sendiri pun, masih beda soal ini. Saya katakan ada persepsi umum di Indonesia bahwa Amerika anti Islam, tetapi Glick menjawab bahwa sulit dibedakan kalau tindakan mereka itu adalah untuk memberantas teroris dan bukan memusuhi muslim. ''Ada ekstremis dan teroris yang kami berantas, bukan memusuhi Islam,'' katanya lagi. Saya menjelaskan, umat muslim di Indonesia juga tidak terlalu sepaham dengan serangan-serangan orang yang kemudian disebut teroris ini. Sebab terlalu banyak yang dirugikan, termasuk masyarakat Indonesia sendiri. Saya yakinkan Glick bahwa masyarakat muslim Indonesia bukanlah teroris dan tidak suka dengan tindakan teroris. Dia sangat bisa memahami hal ini dan diakuinya Indonesia harus terus membangun imej di dunia internasional. Glick sangat memahami kesulitan pemerintah Indonesia dalam membangun negeri yang besar tersebut. ‘’Tetapi saya memberikan apresiasi terhadap kemajuan yang telah dicapai Indonesia,'' tambahnya. **** Kembali ke agenda di California, pada pukul 14.30 saya kemudian bertemu dengan Mr Dan Gilmor, Founded and Director Center for Citizen Media di kantornya IIE, West Coast Center. Kami hanya jalan kaki dari hotel, karena mobil rental sudah dikembalikan. Acara terakhir yang agak jauh memang tinggal di San Fransisco State Univeristy untuk bertemu dengan Profesor Jon Funabiki. Pemandu saya berpikir, cukup pakai taksi untuk menuju San Fransisco University Holloway Avenue. Jadi untuk mengirit biaya, mobil rental dikembalikan setelah acara dengan Phillips. Banyak hal yang kami bicarakan dalam pertemuan sampai pukul 16.00 itu. Gillmor sedang mengembangkan citizen journalism. Ini adalah model baru untuk memperoleh informasi secara mudah, murah dan dengan jaringan yang luas. Sebab siapapun, bisa menjadi wartawan dalam konsep ini. Cuma kendalanya, sempat saya tanyakan adalah soal kualitas informasi yang diberikan, karena mereka (yang terlibat dalam citizen journalism) jelas belum tentu memiliki kemampuan jurnalistik, ilmu jurnalistik, juga kemampun untuk menyajikan fakta dan informasi yang layak kepada publik. Gillmor mengakui adanya kendala seperti ini, tetapi diakuinya di AS sedang berkembang. Media yang cocok, kata dia adalah melalui situs internet. Sehingga menurutnya, sekarang ini banyak sekali dibuka situs (homepage) internet, apalagi didukung cara akses yang mudah, murah, dan super cepat. Dia adalah mantan wartawan dan kolumnis beberapa media seperti The San Jose Mercury News, Detroit Free Press, Kansas City Time dan beberapa koran di Vermont. Acara terakhir pada 16 Agustus di California, bertemu dengan Mr Richard Reynolds, Communications Director Mother Jones, sebuah majalah yang cukup disegani di AS. Nama majalah ini memang agak sedikit unik, karena menggunakan nama seorang wanita pejuang tenaga kerja pada buruh pertambangan puluhan tahun silam. Awalnya diakui Reynolds memang aneh. Tetapi lama-lama tidak ada masalah juga dan bisa berkembang sampai sekarang. Pada edisi Agustus-Oktober, Mother Jones membuat laporan tentang opersional PT Newmont di Indonesia, baik Newmont Minahasaraya, maupun Newmont Nusatenggara. Sorotan utamanya adalah sosok Rick Ness, bos Newmont di AS dengan judul Mr Clean yang ditulis David Case. Laporan sepanjang delapan halaman ini memuat banyak hal, termasuk demo anti Newmont serta dampak yang ditimbulkannya. Ada foto nelayan yang sedang mencariikan, ada demo, dan ada bayi lahir yang cacat diduga akibat limbah Newmont. Reynolds makin tertarik berbicara dengan saya, termasuk soal Newmont karena dia tahu saya tinggal di pulau di mana salah satu perusahaan pertambangan itu beroperasi. Majalah ini ternyata cukup berprestasi. Banyak karya jurnalistiknya yang kemudian ada yang sampai memperoleh penghargaan. Paling tidak selama terbit, telah empat kali memperoleh penghargaan seperti General Excellent. Apa kiatnya, Reynolds mengatakan pihaknya selalu berupaya untuk menyajikan laporan yang terbaik dan mendalam. Majalan ini diterbitkan oleh lembaga non profit yaitu Foundation for National Progress. Tepat HUT kemerdekaan RI, 17 Agustus 2007, saya masih harus menyelesaikan dua program terakhir di negara bagian ini. Sehari sebelumnya, ada yang surprise buat saya. Sebab pada 16 Agustus di kota San Fransisco, saya menemukan restoran Indonesia, yang ternyata tidak terlalu jauh dengan hotel tempat saya menginap. Pagi waktu saya akan berangkat ke San Fransico State University, untuk bertemu dengan Profesor Jon Funabiki, restoran ini belum dibuka. Saya sudah sangat rindu sama masakan Indonesia. Saya ingin segera menyelesaikan acara dengan profesor AS yang berasal dari Jepang itu. Kami kemudian naik taksi dan menuju kampus tempat Funabiki mengajar. Sekitar 25 menit, kami tiba dan bertemu dengan Funabiki di Center for Integration and Improvement of Journalism, San Fransisco State Unversity. Saya dan pemandu diajak mencari tempat yang enak di halaman kampus setelah memesan kopi di cafĂ©. Seperti pertemuan dengan Phillips, pertemuan kami juga sangat berkualitas. Selain bicara soal jurnalistik, Funabiki juga banyak bercerita tentang kondisi warga AS keturunan Jepang. Dia mengaku sudah merupakan generasi ke tiga. Yang datang ke AS, adalah kakeknya. Dia sempat bercerita tentang mahasiswa San Fransisco State University yang ditahan pemerintah AS waktu peristiwa perang dunia kedua. Bahkan di kampus itu, ada memorial yang menjadi saksi sejarah peristiwa itu. Kami diajak untuk meninjaunya. Ada sembilan batu yang disimpan di taman, sebagai memorial. Ada juga tugu serta ada taman air yang menggambarkan urutan peristiwa ditahannya mahasiswa asal Jepang itu. Kembali ke lembaganya, universitas yang memiliki Departement of Journalism ini, telah melahirkan banyak lulusan yang saat ini sudah berkerja di berbagai lembaga. Ada hal menarik yang saya temukan dari pengakuan Funabiki, ternyata mahasiswa jurnalistik, tidak hanya ingin menjadi wartawan. Mereka hanya butuh ilmu jurnalistik untuk berhubungan dengan media, jika kelak mereka bekerja di suatu tempat. Hal itu menurut Funabiki menjadi semakin penting, karena media di AS memang sudah tumbuh sehat dan menjadi bagian dari hidup masyarakat untuk memperoleh informasi. Namun demikian, ada riset yang menemukan kecenderungan berkurangnya pembaca koran dan orang yang nonton televisi. Usai bertemu dengan Funabiki, saya kemudian memuaskan selera tanah air saya dengan makan siang di restoran Indonesia dekat hotel. Saya pesan nasi padang. Tadinya saya ingin juga pesan sate kambing, es kelapa, dan juga pecal. Tetapi karena daya tampung perut yang sangat terbatas, ternyata saya hanya bisa makan nasi padang yang porsinya lumayan banyak. Saya berkenalan dengan pemilik restoran ini, namanya Pak Ari. Dia orang Jakarta, dan sudah 25 tahun tinggal di kota San Fransisco. Pada hari itu dia mengaku baru pulang dari upacara HUT RI di Konsulat RI di San Fransisco. Di AS memang ada tiga konsulat dan satu Kedubes. Tiga konsulat itu ada di San Fransisco, Los Angeles dan New York. Selain upacara bendera, ada bazaar dan juga resepsi. Bahkan di Konsulat di Los Angeles pada Agustus kemarin mendatangkan beberapa artis dari tanah air. Saya tidak sempat mengikuti acara karena harus menyelesaikan acara pada sore hari untuk bertemu dengan Ms Hether Gehlert, Managing Editor AlterNet, sebuah situs berita yang sangat digemari warga AS dari sayap kiri. Kalau Anda ingin mengakses, silakan kunjungi http://www.alternet.org. Berita Irak, selalu menjadi utama jika ada, karena mereka sangat tidak setuju dengan perang yang menghabiskan banyak uang negara AS itu. Mereka berpandangan, masih banyak warga AS yang butuh dana sosial, butuh obat gratis, dan butuh kehidupan yang lebih layak. ‘’Kami benar-benar menentang perang Irak,’’ kata Gehlert. Gehlert masih muda, sudah menyandang gelar magister dari University of California, Berkley, English and Communication from Westminster College in Fulton. Dia pernah menjadi wartawan di Los Angeles Times dan memilih bergabung dengan AlterNet karena mencari tantangan baru. Wanita kelahiran Missiori ini sangat lincah ketika menjelaskan dan memperlihatkan situs yang mereka miliki. Dia mengaku dibaca jutaan orang setiap edisi. Inilah acara resmi terakhir saya yang baru berakhir pukul 14.30. Saya benar-benar bersyukur karena semua program bisa saya selesaikan dengan baik. Saya sangat berterimakasih kepada Irawan Nugroho yang sangat profesional dalam memandu saya sejak dari Washington DC. Dia mengontrol kapan saya makan, kapan saya tidur, kapan saya istirahat. Demikian pula dengan kesehatan dan semangat saya. Dia sendiri terlihat sangat fit selama mendampingi saya. Mantan wartawan Jawa Pos untuk Washington DC ini, selalu menerima dan mengirimkan laporan perjalanan saya ke Washington DC. Termasuk soal kesehatan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan acara dan diri saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar